Oleh Hayat Abdul Latief

 

Setidaknya ada 3 cara agar mendapatkan mahabbatullah.

 

Satu, menjadikan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam sebagai teladan dan yakin dengan mengikutinya akan mendapatkan sukses dunia-akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

 

Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32)

 

Senada dengan ayat di atas, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda:

 

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

 

Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa(HR al-Hakim, al-Khathib, Ibn Abi ‘Ashim dan al-Hasan bin Sufyan)

 

Dua, bertaubat dan mensucikan diri, sesuai dengan firman-Nya:

 

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah:222)

 

Tidak ada seorang pun yang luput dari dosa. Pelaku dosa dan maksiat yang terbaik, menurut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Ahmad dan lainya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, adalah yang bertaubat.

 

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

 

Menurut Syaikh Rahimuddin Nawawi Al Bantani, bertaubat ditujukan kepada dosa-dosa dzahir seperti molimo (5 dosa besar mabuk, madat (Narkoba), maen [judi], madon [zina], maling [mencuri/korupsi]). Sedangkan mensucikan diri ditujukan kepada dosa-dosa batin seperti riya’, takabur, sum’ah, hasud, dan buruk sangka.

 

Tiga, menyempurnakan mafrudhah (perintah yang diwajibkan) dan menjalankan nawafil (tambahan ketaatan). Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Qudsi:

 

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيَّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ. وَمَا تَقَرَّبَ إِلِيَّ عَبْدِيْ بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلِيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا. وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ) رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ

 

“Sesungguhnya Allah berfirman: ”Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku pasti Aku memberinya dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Al Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.

 

*(Penulis adalah Direktur Korp Da’i An-Nashihah dan Mahasiswa S2 Zawiyah Jakarta)*

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *