Oleh: Hayat Abdul Latief
Setiap hari, setiap shalat dan setiap membaca Al-Fatihah, kita memohon kepada Allah jalan yang lurus,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
الْمُسْتَقِيمَ
merupakan formula (shighat) isim fa’il dan bentuk gerund (mashdar)nya yaitu:
الإستقامة
Suatu keyakinan dan perbuatan yang dilakukan terus-menerus sampai akhir hayat.
Berkaitan dengan istiqamah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”(QS. Fussilat: 30)
Berkenaan dengan itu pula, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
أحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى الله أَدْوَمُهَا وَ إِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai  yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Istiqamah lahir dari hati yang ketagian terhadap amal sholeh dan tidak mau ketinggalan untuk mengerjakannya. Kedudukan hati dalam tubuh manusia laksana raja, penguasa dan presiden terhadap rakyatnya, maka apa yang dititahkan bisa yang menjadi undang-undang dan peraturan yang mengikat.
Tidak semua apa yang tersimpan di hati diketahui kualitas dan isinya. Namun demikian, sebagai juru bicara hati, lisan membantu menterjemahkan bahasa hati. Dalam sebuah syair disebutkan:
إِنَّ الكَلاَمَ لَفِي الفُؤَادِ وَإِنَّما  *  جُعِلَ اللِسَانُ علَى الفُؤَادِ دَلِيلاً
“Sungguh, kalam (pembicaraan) itu letaknya dalam hati.
Lisan hanya sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan hati.”
Berkenaan dengan hubungan antara hati dan lisan, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
“Tidaklah istiqomah iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya, dan tidaklah istiqomah hatinya sampai istiqomah lisannya.” (HR. Imam Ahmad)
Istiqomah maksudnya adalah lurus, jauh dari kebengkokan dan ketimpangan yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan memperhatikan premis minor dan premis mayor dalam hadis tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa hati yang lurus melahirkan lisan yang lurus dan hati yang ‘keruh’ melahirkan ‘mulut comberan’.
Oleh karena demikian, usaha agar kita melahirkan lisan yang lurus tentu caranya tidak lain dan tidak bukan dengan meluruskan hati dari setiap kotoran, kepentingan, tendensi dan tekanan juga dengan cara mendengarkan suara hati yang sejatinya berasal dari pancaran sinar ilahi yang terdapat dalam kitab suci dan dijelaskan oleh para nabi dan kekasih yang sejati. Semoga Allah meluruskan lisan  dengan meluruskan hati kita. Aamiin.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah!
*(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)*

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *