Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia agar kita menjadi orang yang bersyukur dan qana’ah yaitu selalu merasa cukup dengan nikmat yang Allah berikan, juga tidak hasad (dengki) dan tidak iri pada orang lain. Sabdanya,

 

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

 

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah raḍiyallahu’anhu)

 

Karena kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati yaitu hati yang selalu merasa cukup dengan karunia yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

 

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Diantara kekayaan hati adalah kafaf (merasa cukup rezeki yang diberi) dan qana’ah (puas terhadap pembagian rezeki dari Allah subhanahu wa ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

 

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

 

“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu’anhuma)

 

Diantara do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:

 

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina) (HR. Muslim)

 

Imam Nawawi rahimahullah- mengatakan, Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)

 

Dalam hadits ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa diantara doa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam meminta 4 hal:

 

1. Meminta الهُدَى (petunjuk), yakni jalan yang lurus sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Fatihah,

 

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

 

“Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 6-7)

 

Ringkasan dari yang disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, shirothol mustaqim adalah jalan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, kebenaran, agama Islam dan Al-Qur’an. “Semua pengertian di atas itu benar dan semua makna di atas itu saling terkait. Siapa yang mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti sahabat sesudahnya yaitu Abu Bakar dan Umar, maka ia telah mengikuti kebenaran. Siapa yang mengikuti kebenaran, berarti ia telah mengikuti Islam. Siapa yang mengikuti Islam, berarti ia telah mengikuti Al-Qur’an (Kitabullah), itulah tali Allah yang kokoh. Itulah semua ash-shirothol mustaqim (jalan yang lurus). Setelah menyebutkan pendapat-pendapat ini, Ibnu Katsir rahimahullah menyampaikan, “Semua pengertian di atas itu benar saling mendukung satu dan lainnya. Walillahil hamd.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:213)

 

2. Meminta التُّقى (takwa), yaitu takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjaga diri agar tidak menyelisihi-Nya.

 

3. Meminta العَفافَ, yaitu menjauhi segala hal yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala.

 

4. Meminta الغِنى (kekayaan hati), maksudnya adalah merasa cukup atau tidak meminta kepada makhluk, karena jika seseorang diberi rasa cukup oleh Allah, maka orang tersebut berjiwa mulia dan memiliki harga diri. Karena mengharap kepada makhluk adalah kehinaan, sedangkan mengharap kepada Khalik adalah kemuliaan dan ibadah.

 

Imam Hasan Al-Bashri berkata,

 

إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة

.

“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.” (Ibnu Abid Dunya dalam Kitab Az-Zuhud)

 

Arahan yang sangat baik kepada kita dari seorang tabiin yang kata-katanya mirip dengan sabda para nabi berkaitan dengan kecenderungan manusia untuk persaingan dan berlomba-lomba dalam urusan dunia; Apabila kita tidak mampu unggul dan bersaing dalam urusan dunia, unggulilah mereka dalam urusan akhirat. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah!

 

*(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)*

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *