Oleh: Hayat Abdul Latief
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud Rhadiyallahu anhu berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam:
أي العمل أحب إلى الله؟ قال: “الصلاة على وقتها”, قلت: ثم أي؟ قال: “بر الوالدين”, قلت: ثم أي؟ قال: “الجهاد في سبيل الله”,
“Amalan apakah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala? Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya.” Kemudian apa? Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orangtua”. Kemudian apa? Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Shalat Tepat Waktu
Shalat merupakan jaminan Allah subhanahu wa taala, meninggalkannya sama saja melepas jaminan itu. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
….وَلاَ تَتْرُكَنَّ الصَّلاَةَ اْلمَكْتُوْبَةَ مُتَعَمِّداً؛ وَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّداً بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ…
….Jangan sekali-kali meninggalkan shalat wajib dengan sengaja, (karena) barangsiapa yang melakukannya dengan sengaja, niscaya jaminan Allah akan terlepas darinya….(HR. Muslim)
Maksud lepas dari jaminan Allah adalah setiap orang telah mendapatkan jaminan penjagaan agar tidak terjerumus dalam kebinasaan, keharaman atau menyelisihi perintah Allah. Ketika seseorang meninggalkan shalat dengan sengaja, berarti ia lepas dari jaminan yang luar biasa tersebut.
Shalat juga disebut sebagai cahaya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
…وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ…
“….Shalat adalah cahaya….”
Para ulama menjelaskan, shalat wajib maupun sunah akan menjadi cahaya, cahaya di hati, cahaya di wajah, cahaya di kubur, cahaya di padang mahsyar. Shalat juga bisa diumpamakan laksana proses air hujan; matahari menyerap air dari bumi lalu menjadi awan yang menggumpal Dan bila tiba saatnya turunlah hujan. Demikian juga orang yang salat laksana menyerap cahaya Tuhan lalu memberikan kesejahteraan dan keselamatan bagi orang di sekitarnya.
Berkenaan dengan shalat 5 waktu, Allah subhanahu wa taala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)
Menafsirkan ayat di atas, ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata, “(Shalat itu) merupakan kewajiban yang telah ditentukan waktunya. Selain menekankan wajibnya shalat, ayat ini juga menunjukkan bahwa shalat itu memiliki waktu tertentu yang harus dipenuhi. Itulah waktu-waktu yang telah dimaklumi oleh setiap orang Islam, tua maupun muda, terpelajar maupun awam. Mereka memahami hal itu dari pesan Nabi Muhammad saw.:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى . رواه البخاري
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari)
Maksudnya, ketika seorang Muslim hendak melaksanakan shalat, hendaknya dia memperhatikan contoh dari Rasulullah bagaimana beliau melaksanakan shalat, termasuk dalam hal menentukan waktu-waktu shalat.
Birrul Walidain
Birrul walidain merupakan perintah Allah subhanahu wa taala. Firman-Nya,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23)
Orang tua merupakan keramat yang tidak bisa diwakili oleh siapapun. Ridho Allah tergantung ridhonya dan murka Allah tergantung murka Allah. Kalau kita berbakti kepada kedua orang tua maka kemungkinan besar anak-anak kita berbakti kepada kita. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
عِفُّوْا عَنْ نِسَاءِ النَّاسِ تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ وَ بِرُّوْا آبَاءَكُمْ تَبِرَّكُمْ اَبْنَاؤُكُمْ وَ مَنْ اَتَاهُ اَخُوْهُ مُتَنَصِّلاً فَلْيَقْبَلْ ذلِكَ مُحِقًّا كَانَ اَوْ مُبْطِلاً فَاِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يَرِدْ عَلَى اْلحَوْضِ. الحاكم و قال صحيح الاسناد
“Jagalah dirimu dari kaum wanita, maka istrimu pun terjaga pula. Dan berbhaktilah kepada bapak ibumu, maka anakmu akan berbhakti kepadamu. Dan siapa saja yang saudaranya datang kepadanya walaupun dia orang yang tidak baik, hendaklah ia segera menyambut kedatangannya, apakah ia berniat baik atau berniat buruk. Jika tidak mau menerimanya secara baik, maka ia tidak dapat haudl (telaga Nabi pada hari kiamat)”. (HR. Hakim dan ia mengatakan shahih isnadnya)
Adapun berkaitan dengan Fadhilah birrul Walidain, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ اَنْ يُمَدَّ لَهُ فِى عُمْرِهِ وَ يُزَادَ فِى رِزْقِهِ فَلْيَبِرَّ وَالِدَيْهِ وَ لْيَصِلْ رَحِمَهُ. احمد
“Barangsiapa senang dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, maka hendaklah ia berbhakti kepada kedua orang tua dan menyambung shilaturrahmi.” (HR. Ahmad, dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu)
Jihad di Jalan Allah
Jihad yang dimaksud adalah jihad Dalam pengertian yang komprehensif yaitu usaha untuk meninggikan kalimat Allah dalam berbagai macam lininya.
Menuntut ilmu bagian dari jihad di jalan Allah. Firman-Nya,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Melalui ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu nilainya sama dengan jihad mengangkat senjata dalam rangka mempertahankan dakwah Islam. Dengan ilmu, dakwah akan berjalan dan dengan jihad aktivitas dakwah akan terlindungi.
عن أنس رضي الله عنه مرفوعاً- من خَرج في طلب العلم فهو في سَبِيلِ الله حتى يرجع (رواه الترمذي – حسن)
Dari Anas -raḍiyallahu ‘anhu- meriwayatkan secara marfu’ “Siapa yang keluar dalam rangka mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi – Hadis Hasan)
Bekerja agar tujuan tidak menjadi beban orang lain juga termasuk jihad. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
من سعَى على عيالِه من حِلِّه فهو كالمجاهدِ في سبيلِ اللهِ , ومن طلب الدُّنيا حلالًا في عفافٍ كان في درجةِ الشُّهداءِ (أخرجه الطبراني في المعجم الأوسط)
“Barang siapa yang menafkahi keluarganya dari yang halal adalah seperti mujahid di jalan Allah, dan barang siapa mencari dunia, halal dalam kesuciannya, maka ia termasuk dalam derajat syahid.” (HR. Al-Tabarani dalam Al-Mu`jam Al-Awsat isnadnya dhaif)
Mengcounter pemikiran sipilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisasi merupakan bagian dari jihad Ghazwul Fikri (perang pemikiran) agar umat tidak terjebak dalam pemahaman relativisme (semuanya serba relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak)
Tak kalah penting, jihad nafsu juga tidak boleh diabaikan. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,
…وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ….
“Dan mujahid, adalah orang yang berjihad terhadap nafsunya untuk ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)