Oleh: Hayat Abdul Latief
Apakah ada hari, pekan, bulan dan tahun sial di dalam Islam. Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita perhatikan hadits berikut secara utuh! Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
لا عَدْوَى و لا طيرةَ و لا هامةَ و لا صَفرَ ، و فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسدِ
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada dampak dari thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada kesialan para bulan Shafar. Dan larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR. Bukhari no.5707)
Kandungan dalam hadis tersebut:
1. Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya, namun atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam Kitab Fath Al-Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan, penafian adanya penyakit menular dimaknai secara umum dan mutlak. Artinya, tidak ada penularan penyakit sama sekali. Sementara perintah untuk lari dari penyakit kusta atau lepra, ini sebagai bentuk sadd adz-dzari’ah, alias sebuah tindakan preventif untuk menutup celah keburukan. Imam Al-Atsqalani berpendapat, bisa jadi ketika tidak menjauh dari penyakit menular, kemudian Allah Swt menakdirkan terkena penyakit yang sama, maka timbullah keyakinan bahwa ada penyakit menular. Sehingga untuk mencegah timbulnya keyakinan ini, diperintahkan untuk menjauh dari penyakit menular. Oleh karena itu, semestinya tidak lazim mengatakan bahwa Si A telah tertular penyakit Si B.
Kematian merupakan kepastian meskipun tidak terkena atau tidak tertular penyakit. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَن يُؤَخِّرَ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَاۚ وَٱللَّهُ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
“Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 11)
2. Tathayyur merupakan kepercayaan jahiliyah yang perlu dijauhi. Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang Firaun dan bala tentaranya Apabila ditimpa musibah menisbatkan kemalangannya (tathayyur) kepada Nabi Musa ‘alaihis salam dan para pengikutnya,
فَاِذَاجَآءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَاهٰذِهِ ۚ وَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوْسٰى وَمَنْ مَعَهُ ۗ اَلَآ اِنَّماَ طَآ ئِرُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرُهُمْ لَايَعْلَمُوْنَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131)
Makna ayat di atas, ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan kebaikan berupa kesuburan, kelapangan, dan kesehatan mereka berkata, “Kami memang pantas dan berhak mendapatkannya.” Namun, ketika mendapatkan musibah berupa bencana atau kemarau, mereka pun bertathayur dengan Musa dan pengikutnya. Mereka berkata, “Ini adalah karena kesialan Musa dan pengikutnya, kita tertimpa kesialan mereka.” Maka Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah.”
Untuk menghilangkan tathayur (menisbatkan kebaikan dan keburukan dengan sesuatu) maka, Islam menganjurkan umatnya untuk selalu optimis dan menjauhi pesimis. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 139)
3. Kematian seseorang sudah ditentukan dan tidak memerlukan tanda-tanda dari makhluk lain.
4. Dengan merujuk surat Al Ashr, menurut agama Islam seluruh hari baik bagi orang yang beriman, beramal sholeh dan saling nasehat menasehati dalam hal kebenaran dan kesabaran:
وَالۡعَصۡرِۙ اِنَّ الۡاِنۡسَانَ لَفِىۡ خُسۡرٍۙ اِلَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوۡا بِالۡحَقِّ ۙ وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡرِ
“Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)
Agama Islam melarang kita mencela waktu (hari, pekan, bulan, tahun dan seterusnya). Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
لا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فإنَّ اللَّهَ هو الدَّهْرُ
“Jangan mencela ad dahr (waktu), karena Allah adalah ad dahr” (HR. Muslim No. 2246).
Imam Nawawi dalam karyanya Syarah An-Nawawi Ala Shahih Muslim (juz 3, hlm 10), “janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah waktu.” Artinya janganlah kalian mencela pembuat kejadian, karena jika kalian mencela pembuat kejadian dengan sendirinya celaan itu juga terarah kepada Allah sang pembuat kejadian.
Maksud dari “Allah adalah Ad-dahr” dijelaskan dalam hadis lain. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تسبوا الدهر، فإن الله عز وجل قال: أنا الدهر: الأيام والليالي لي أجددها وأبليها وآتي بملوك بعد ملوك
“Jangan mencela ad-dahr (waktu), karena Allah Swt. berfirman: Aku adalah ad dahr, siang dan malam adalah kepunyaan-Ku, Aku yang memperbaharuinya dan membuatnya usang. Aku pula yang mendatangkan para raja yang saling bergantian berkuasa.” (HR. Ahmad No.22605)
Masyarakat Arab jahiliyyah menganggap bulan Shafar bisa mendatangkan kesialan. Mereka meyakini bulan ini sebagai bulan yang malang, sial, dan hal-hal buruk berdatangan. Kenyataannya, keyakinan bahwa Shafar sebagai bulan penuh sial ini dibantah langsung oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadist di atas. Pertanyaan di atas: Benarkah bulan Safar penuh dengan sial dan kemalangan? Jawaban: Tidak benar.
Faedah Hadits:
Satu, tidak ada hari, pekan, bulan dan tahun yang buruk atau sial dalam agama Islam.
Dua, semua hari baik, apabila ada amal sholeh di dalamnya dan semua hari buruk, apabila ada pelanggaran agama di dalamnya.
Tiga, akidah Islam Memberantas Takhayyul dan Khurafat. Takhayul, menurut kamus, artinya (1) (sesuatu yang) hanya ada dalam khayal belaka, (2) kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti (KBBI). Sedangkan khurafat diartikan sebagai cerita-cerita yang mempesonakan yang dicampuradukkan dengan perkara dusta, atau semua cerita rekaan atau khayalan, ajaran-ajaran, pantangan, adat-istiadat, ramalan-ramalan, pemujaan atau kepercayaan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Empat, tidak boleh menyandarkan kesialan nasib kepada orang lain.
Lima, meyakini bulan Shafar sebagai bulan yang malang, sial, dan hal-hal buruk berdatangan dibantah langsung oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

