Oleh: Hayat Abdul Latief
Pernikahan dalam agama Islam memiliki posisi yang paling penting dalam membangun keluarga. Dengannya, seorang laki-laki dan perempuan halal melakukan sesuatu yang sebelumnya diharamkan. Menikah merupakan tanda-tanda kebesaran Allah agar manusia mendapatkan ketenangan dan kasih sayang. Firman-Nya,
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُون
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Surat Ar-Rum ayat 21: Sebagian dari tanda akan kemaha-esaan dan kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya adalah bahwasanya Allah menciptakan kalian dari jenis kalian berupa perempuan sebagai istri, yang tinggal dengan kalian karena pernikahan, yang kalian lembut kepada istri-istri kalian dan condong kepadanya. Allah jadikan di antara kalian kecintaan, simpati dan kasih sayang, sungguh itu semua adalah tanda yang jelas akan kemaha esaaan Allah dan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya bagi kaum yang menjalankan akal mereka dan memikirkannya. (An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi)
Anjuran menikah dalam hadits
Dalam Islam, menikah merupakan ibadah terlama dan dapat ternilai sebagai penyempurna separuh agama. Dengan pernikahan, setiap pasangan dapat membangun rumah tangga, memiliki keturunan, dan terhindar dari perbuatan zina.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda:
ثَلَاثٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَالنَّاكِحُ الْمُسْتَعْفِفُ، وَالْمُكَاتَبُ يُرِيدُ الْأَدَاءَ
”Ada tiga kelompok manusia yang pasti ditolong oleh Allah: mujahid di jalan Allah, pemuda yang menikah untuk menjaga kehormatan diri dan budak yang berusaha memerdekakan diri (agar lebih leluasa beribadah).” (HR. Ahmad no. 7416)
Perkanikahan merupakan hal yang memuat tiga hal dari maqashid al-syariah, Pertama, memelihara agama (hifdzud din) melihat dari sisi bahwa disamping kebutuhan dan fitrah manusia, perkawinan juga merupakan ibadah serta dengan tujuan adalah menjaga sesorang dari kemaksiatan, zina dan tindak asusila yang diharamkan dalam agama Islam. Kedua, memelihara keturunan (hifdzun nasl) demi menjaga dan melestarikan keturunan putra-putra Adam, tujuan pernikahan dalam agama Islam termasuk mendapatkan keturunan yang shalih. Salah satu jalan investasi di akhirat, selain daripada beribadah, termasuk pula keturunan yang sholeh dan sholehah. Ketiga, memelihara jiwa (hifdzun nafs) jiwa atau perasaan seseorang yang tenang dan tentram atau sakinah, akan hadir setelah melakukan pernikahan. Bukan hanya sekedar untuk melampiaskan syahwat semata atau perasaan biologis saja, oleh karena nya hal ini bisa mengurangi ketenangan tersebut.
Cerai dalam islam
Cerai dalam Islam adalah melepaskan status ikatan perkawinan atau putusnya hubungan pernikahan antara suami dan istri. Dengan adanya perceraian, maka gugurlah hak dan kewajiban keduanya sebagai suami dan istri. Maksudnya, keduanya tidak lagi boleh berhubungan sebagai suami istri, misalnya menyentuh atau berduaan, sama seperti ketika belum menikah dulu. Al-Qur’an juga mengatur adab dan aturan dalam berumah tangga, termasuk bagaimana jika ada masalah yang tak terselesaikan dalam rumah tangga. Islam memang mengizinkan perceraian, tapi Allah membencinya. Itu artinya, bercerai adalah pilihan terakhir bagi pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan keluar lainnya. Allah berfirman:
وَاِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (Al-Baqarah: 227)
Macam-macam cerai dalam Islam
1. Talak Raj’i. Pada talak raj’i, suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya. Suami boleh rujuk kembali dengan istrinya ketika masih dalam masa iddah. Namun, jika masa iddah telah habis, suami tidak boleh lagi rujuk kecuali dengan melakukan akad nikah baru.
2. Talak Bain. Ini adalah perceraian saat suami mengucapkan talak tiga kepada istrinya, sehingga istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan boleh merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan lelaki lain dan berhubungan suami istri dengan suami yang baru lalu diceraikan dan habis masa iddahnya.
3. Talak Sunni. Ini terjadi ketika suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya yang masih suci dan belum melakukan hubungan suami istri saat masih suci tersebut.
4. Talak Bid’i. Suami mengucapkan talak kepada istrinya saat istrinya sedang dalam keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun sudah disetubuhi.
5. Talak Ta’liq. Pada talak ini, suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-syarat tertentu. Dalam hal ini, jika syarat atau sebab yang ditentukan itu berlaku, maka terjadilah perceraian atau talak.
Gugat Cerai Istri
Berbeda dengan talak yang dilakukan oleh suami, gugat cerai istri ini harus menunggu keputusan dari pengadilan.
1. Fasakh. Ini merupakan pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri ke suami akibat beberapa perkara, seperti: suami tidak memberi nafkah lahir batin selama 6 bulan berturut-turut, suami meninggalkan istri selama 4 bulan berturut-turut tanpa kabar, adanya perlakuan buruk dari suami kepada istrinya.
2. Khulu’. Ini adalah perceraian yang merupakan kesepakatan antara suami dan istri dengan adanya pemberian sejumlah harta dari istri kepada suami. Terkait dengan hal ini, penjelasannya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 229,
ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا۟ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْـًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Masa Iddah
Iddah merupakan waktu tertentu untuk menanti pernikahan yang baru menurut agama. Islam memberikan batasan iddah ini sebagai berikut:
1) Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.
2) Iddah wanita yang tidak haidh lagi (menopause) = tiga bulan menurut penanggalan hijriyah.
3) Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
4) Iddah wanita hamil = sampai melahirkan.
5) Iddah wanita belum pernah berhubungan intim sama sekali = tidak ada masa iddah.
Rujuk dalam Islam
Rujuk artinya seorang suami kembali kepada mantan istrinya yang ditalak satu atau ditalak dua dengan tidak melakukan tajdidun nikah lagi selama iddahnya belum berakhir. Rujuk merupakan hak suami berdasarkan Firman Allah subhanahu wata’ala berikut,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Namun apabila istri yang dicerai suaminya dengan cerai satu atau dua (talak raj’i) dan sudah melampaui batas iddahnya kalau suami mau rujuk, maka perlu akad nikah yang baru. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah!
*(Khadim Korp Dai An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)*

