Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Usamah bin Zaid R.A berkata: “Salah seorang putri Nabi mengirimkan utusan kepada Nabi untuk mengabarkan bahwa : “Putraku sedang sakaratul maut, maka hendaknya engkau datang”. Nabipun mengirim utusan kepada putrinya tersebut dan mengirim salam kepadanya dan berkata,

 

إنَّ لله مَا أخَذَ وَلَهُ مَا أعطَى وَكُلُّ شَيءٍ عِندَهُ بِأجَلٍ مُسَمًّى فَلتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

 

“Sesungguhnya milik Allah apa yang Allah ambil, dan milik Allah juga apa yang telah Allah anugerahkan, dan segala sesuatu di sisiNya ada waktu dan ketentuannya, maka hendaknya putriku bersabar dan mengaharapkan pahala dari Allah”.

 

Akan tetapi putri Nabi kembali mengirimkan utusannya mengabarkan kepada Nabi bahwasanya putrinya telah bersumpah agar Nabi datang. Maka Nabipun datang bersama Sa’ad bin ‘Ubaadah, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsaabit dan beberapa sahabat lainnya radhiallahu ‘anhum. Lalu sang anakpun diangkat ke Nabi, Nabipun meletakkannya di pangkuannya sementara sang anak meronta-ronta. (Melihat hal itu) maka kedua mata Nabipun mengalirkan tangisan. Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis?”.

 

Nabi bersabda,

 

هذِهِ رَحمَةٌ جَعَلَها اللهُ تَعَالَى في قُلُوبِ عِبَادِهِ

 

“Ini adalah (tangisan) rahmat (kasih sayang) yang Allah jadikan di hati para hambaNya” (HR Al-Bukhari no 1284 dan Muslim no 923)

 

Profil Usamah bin Zaid: Sejarah Islam mencatat sejumlah panglima perang terhebat sepanjang masa. Salah satunya Usamah bin Zaid. Usamah merupakan panglima Islam termuda sekaligus panglima terakhir yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah. Ia mulai memimpin perang pada usia 18 tahun. Beberapa sahabat mempertanyakan keputusan tersebut sebab banyak sahabat senior dalam pasukan, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lainnya. Mereka dianggap lebih pantas memimpin pasukan. Mendengar berbagai perkataan yang terdengar me nye pe lekan Usamah, Umar segera menemui Rasulullah.

 

Mendengar kabar itu, Nabi Muhammad sangat marah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku mendengar pembicaraan mengenai pengangkatan Usamah? Demi Allah, seandai nya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah Zaid sangat pantas memegang pimpinan, begitu pula dengan putranya Usamah.” Rasulullah melanjutkan, “Jika ayahnya sangat aku kasihi, putranya pun demikian.

 

Profil Zaid bin Haritsah (Ayah Usamah bin Zaid): Zaid diadopsi Rasulullah, sehingga membuat seantero Mekah mengenalnya dengan nama Zaid bin Muhammad. Dari peristiwa tersebut, Allah kemudian menurunkan wahyu berupa Surat Al-Ahzab ayat 40.

 

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

 

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

 

Rasulullah memutuskan mendahului penyerangan dan mengamanahkan 3 orang salih termasuk Zaid bin Haritsah untuk memimpin Perang Mu’tah. Rasulullah membagi pasukan dan memberi komando: Kalian dipimpin oleh Zaid bin Haritsah. Jika Zaid terbunuh, sebagai penggantinya Jafar bin Abi Thalib dan jika Jafar terbunuh, Abdullah bin Rawahah yang akan menggantikan selanjutnya.

 

Profil Ummu Aiman (Ibu Usamah bin Zaid): Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah atau Tarikh Ibnu Katsir, kitab sejarah yang disusun oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir, disebutkan, nama lengkap ummu Aiman, Barakah binti Tsa’labah bin Amr bin Hashan bin Malik bin Salamah bin Amr bin Nu’man. Dia merupakan budak yang dibeli ayahanda Rasulullah. Ummu Aiman pun setia mengasuh Rasulullah hingga besar. Kemudian setelah Rasulullah menikah dengan Khadijah, Barakah dimerdekakan dari budak. Selanjutnya Barakah menikah dengan Ubaid bin Zaid dan memiliki anak yang bernama Aiman, sehingga ia dipanggil Ummu Aiman. Namun setelah itu ia bercerai dengan suaminya, dan Ummu Aiman menikah dengan Zaid bin Haritsah. Pernikahan tersebut membuahkan seorang putra bernama Usamah bin Zaid. Ummu Aiman mengikuti dua kali hijrah, ke Habasyah dan Madinah. Dia termasuk ke dalam hamba yang taat, Rasulullah senantiasa mengunjungi rumahnya. Beliau berkata: هى أمى بعد أمى (“Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibu kandungku.”)

 

Tangisan Nabi:

 

1. Tangisan Nabi tatkala putranya Ibrahim meninggal dunia. Anas bin Malik berkata: “Rasulullah masuk (di rumah ibu susuan Ibrahim) menemui Ibrahim yang dalam keadaan sakaratul maut bergerak-gerak untuk keluar ruhnya. Maka kedua mata Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallampun mengalirkan air mata. Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Engkau juga menangis wahai Rasulullah?”. Maka Nabi berkata, “Wahai Abdurrahman bin ‘Auf, ini adalah rahmah (kasih sayang)”. Kemudian Nabi kembali mengalirkan air mata dan berkata,

 

إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ والقَلب يَحْزنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا ، وَإنَّا لِفِرَاقِكَ يَا إبرَاهِيمُ لَمَحزُونُونَ

 

“Sungguh mata menangis dan hati bersedih, akan tetapi tidak kita ucapkan kecuali yang diridhoi oleh Allah, dan sungguh kami sangat bersedih berpisah denganmu wahai Ibrahim ” (HR Al-Bukhari no 1303)

 

2. Tangisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala putrinya Ummu Kaltsuum meninggal. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Kami menghadiri pemakaman putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasulullah duduk di atas mulut kuburan (yang sudah digali). Aku melihat kedua mata beliau mengalirkan air mata, dan beliau berkata, “Apakah ada diantara kalian yang malam ini belum berbuat (berhubungan dengan istrinya)?. Abu Tolhah berkata, “Saya”. Nabipun berkata, “Turunlah engkau di kuburan putriku!”. Abu Tholhah lalu turun dan menguburkan putri Nabi” (HR Al-Bukhari no 1342)

 

3. Tangisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat salah seorang cucunya menghadapi sakaratul maut, seperti yang tertera dalam hadits pertama di atas.

 

4. Tangisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat jasad pamannya Hamzah bin Abdil Muththolib tercabik-cabik. Hamzah paman Nabi dan juga sekaligus saudara sepersusuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah Asadullah (singa Allah) seseorang yang sangat hebat dalam pertempuran di medan jihad. Tatkala sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabar meninggalnya Hamzah maka Nabipun menangis. Jabir radhiallahu ‘anhu berkata :

 

لمَاَّ بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتْلُ حَمْزَةَ بَكَى، فَلَمَّا نَظَرَ إِلَيْهِ شَهِقَ

 

“Tatkala sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kabar tewasnya Hamzah maka Nabipun menangis. Dan tatkala Nabi melihat jasadnya maka Nabipun terisak-isak keras” (Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaaid 6/171)

 

5. Rasulullah menangis karena sepupunya Ja’far bin Abi Thalib syahid dan dua pemegang bendera lainnya (Zaib bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah) di medan perang. Rasulullah sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih. Asma’ (istri Ja’far) bercerita, “Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.” Asma’ kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja’far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka.

 

Asma’ bertanya, “Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?”

 

Beliau menjawab, “Ya, mereka telah syahid hari ini.”

 

Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka.

 

Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya, “Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya! Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya!”

 

6. Tangisan Rasulullah terhadap umatnya ketika menjelang wafat, merisaukan keadaan mereka lebih besar daripada tangisan terhadap sanak familinya.

 

Faedah:

 

Satu, Usamah bin Zaid merupakan panglima perang termuda yang langsung ditunjuk oleh Rasulullah.

 

Dua, menangis ketika meninggal sanak famili atau orang-orang yang kita cintai merupakan tangisan kasih sayang, tidak dilarang dalam agama Islam. Yang dilarang adalah tangisan disertai ratapan sebagai tanda tidak terima terhadap qodarullah.

 

Tiga, Rasulullah sangat risau terhadap keadaan umatnya, terasa berat baginya penderitaan mereka, sangat memperhatikan keselamatan mereka dan sangat kasih sayang terhadap mereka. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

 

(Khadim Korp Da’i An-Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *