Oleh: Hayat Abdul Latief
Marah harus dikelola dengan benar supaya tidak melukai diri sendiri maupun orang lain. Salah satu perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain adalah marah. Orang yang tidak bisa menahan amarahnya termasuk orang yang rugi. Begitupun sebaliknya, orang yang menahan amarahnya akan mendapat banyak keutamaan.
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menasehati seorang sahabat juga umatnya agar tidak gampang marah. Perhatikan hadits berikut;
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : لَا تَغْضَبْ . فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : لَا تَغْضَبْ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
“Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shalallahu’alaihi wasallam, “Berilah wasiat kepadaku.” Sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam: “Janganlah engkau mudah marah.” Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau, “Janganlah engkau mudah marah.” (HR Bukhari)
Tanda Dewasa
Menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali tanda orang dewasa itu 2; susah marah dan mudah memaafkan. Ternyata setelah ditelisik lebih jauh pernyataan Imam Al-Ghazali tersebut sesuai dengan firman Allah berikut;
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133-134 )
Dalam ayat ini ada lafadz;
وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ
yang artinya: orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Hal demikian juga sejalan dengan hadits berikut, Rasulullah SAW bersabda;
“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرُعة، وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ”.
“Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah.” (HR Bukhari dan Muslim Dari Abu Hurairah r.a)
Cara Mengendalikan Marah
Cara yang diajarkan Rasulullah SAW untuk mengendalikan amarah:
1. Membaca kalimat ta’awudz. Dari Sulaiman bin Shurd, beliau menceritakan, ”
وعنْ سُلَيْمانَ بْنِ صُرَدٍ قَالَ: كُنْتُ جالِساً مَعَ النَّبِي ﷺ، ورجُلان يستَبَّانِ وأَحدُهُمَا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ. وانْتفَخَتْ أودَاجهُ. فَقَالَ رسولُ اللَّه ﷺ: إِنِّي لأعلَمُ كَلِمةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عنْهُ مَا يجِدُ، لوْ قَالَ: أَعْوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ذَهَبَ منْهُ مَا يجدُ فقَالُوا لَهُ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: تعوَّذْ بِاللِّهِ مِن الشَّيَطان الرَّجِيمِ. متفقٌ عَلَيهِ.
“Suatu hari saya duduk bersama Rasulullah SAW. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A-‘uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang”. Lalu mereka berkata kepadanya, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Berusaha diam menjaga lisan. Rasulullah bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu).
3. Mengambil posisi lebih rendah. Kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi, dan lebih tinggi. Semakin dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa melampiaskan amarahnya sepuasnya. Rasulullah bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782)
4. Segera berwudhu atau mandi. Rasulullah SAW bersabda:
إن الغضب من الشيطان ، وإن الشيطان خلق من النار ، وإنما تُطْفأ النار بالماء ، فإذا غضب أحدكم فليتوضأ
“Amarah dari setan, dan setan diciptakan dari api, tetapi apinya dipadamkan dengan air, maka jika salah satu dari kalian marah, biarkan dia berwudhu.” (HR. Abu Dawud, dari Atiyah As-Sa’di)
5. Mengingat fadhilah menahan marah dan amarah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW.
Marah Yang Dibenarkan
Sikap marah tidak selamanya negatif. Kita diperbolehkan marah, asal marah ditempatkan pada hal yang benar. Misalnya, marah saat melihat kemungkaran di depan mata. Kita dibolehkan marah asalkan marah itu karena Allah, bukan marah karena hawa nafsu kita. Apabila kita marah karena Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya kita akan menjadi kekasih Allah. Misalnya rasa amarah itu muncul, saat melihat perintah Allah diabaikan dan larangan-Nya dilanggar, atau tatkala kita menyaksikan perbuatan haram yang menyebar luas.
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam sendiri tidak marah jika persoalan pribadinya diganggu. Beliau marah saat agama Allah diganggu. Allah SWT berfirman;
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ وَيُذْهِبَ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ
“Perangilah mereka (yang memerangimu), niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang mu’min.” (QS. At-Taubah : 14-15)
Rasulullah SAW pun tak pernah menghukum seseorang karena pelanggarannya terhadap beliau, kecuali jika melanggar hak Allah SWT. Perhatikan hadits berikut;
….وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ
“….Dan tidaklah beliau membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama sekali. Kecuali jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman terhadap perkara itu karena Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah r.a)
Rasulullah marah terhadap seorang Imam yang memperpanjang salatnya, sehingga membuat susah makmumnya. Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu anhu berkata;
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ فِي مَوْعِظَةٍ قَطُّ أَشَدَّ مِمَّا غَضِبَ يَوْمَئِذٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ
“Seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW lalu berkata,“Sesungguhnya aku memperlambat shalat Shubuh disebabkan oleh Si Fulan (imam shalat) yang memanjangkan shalat dengan kami.” Maka tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dalam memberikan nasihat sama sekali yang lebih hebat dari kemarahan beliau pada hari itu. Lantas beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu itu ada orang-orang yang membikin manusia lari (dari agama)! Siapa saja di antara kamu yang mengimami orang banyak, maka hendaklah dia meringkaskan. Karena sesungguhnya di belakangnya (yang menjadi makmum), ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.” (HR. Al-Bukhari dan lainnya)
Faedah:
Satu, Salah satu perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain adalah marah.
Dua, tanda kedewasaan seseorang menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali; susah marah dan mudah memaafkan.
Tiga, cara yang diajarkan Rasulullah untuk mengendalikan marah; mengucapkan ta’awudz, berusaha diam menjaga lisan, mengambil posisi yang lebih rendah, berwudhu dan mandi dan mengingat fadilah menahan amarah.
Empat, contoh marah yang dibenarkan apabila agama diganggu, kesucian agama dinistakan, kemungkaran merajalela, menyaksikan pemimpin yang menyusahkan rakyatnya. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)