Oleh: Hayat Abdul Latief
Seperti yang diceritakan oleh jamaah haji, pengelola Masjidil Haram menyediakan layanan tawaf dan sa’i dengan mengendarai scooter matic. Layanan ini tersedia di lantai atas Masjidil Haram. Jemaah haji maupun umrah yang memanfaatkan layanan ini tidak lagi menjalankan tawaf dan sa’i dengan jalan kaki atau lari-lari kecil saat melintasi bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Mereka akan mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali dan sa’i dari bukit Safa dan Marwah dengan mengendarai kendaraan scooter matic.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih, bahwa jika Tawaf dan Sa’i dilakukan bagi yang udzur, semisal lansia, sakit dll,maka hukumnya boleh (laa haraj = tidak ada halangan). Mengenai orang yang tidak ada udzur lalu menggunakan scooter ini di dalamnya ada beberapa perbedaan pendapat. Benarlah kalam ulama,
اختلاف الائمة رحمة للامة
Perbedaan di kalangan para imam merupakan rahmat bagi umat (Islam).
…..
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam pernah melakukan Tawaf pada saat haji wada. Saat itu orang-orang sudah berkerumun; di antara mereka ada yang ingin melihat cara Tawaf beliau dan ada juga yang ingin memandang kepribadiannya yang mulia, sehingga mereka pun berdesak-desakkan. Di antara kasih sayang beliau kepada umatnya dan sikap persamaan di antara mereka, maka beliau menunggangi unta lalu Tawaf di atasnya agar orang-orang bisa melihatnya secara sama-sama. Beliau membawa tongkat yang ujungnya bengkok lalu menyentuh rukun (Hajar Aswad) dengannya dan mencium tongkat.
Dari Abdullah bin Abbas -raḍiyallāhu ‘anhumā- ia berkata;
طَافَ النبيُّ -صلَّى الله عليه وسلَّم- فِي حَجَّةِ الوَدَاعِ على بَعِير، يَستَلِم الرُّكنَ بِمِحجَن
“Nabi pernah melakukan tawaf di atas unta pada saat haji wada. Beliau menyentuh rukun (pilar Ka’bah) dengan tongkat.” (Muttafaqun alaihi)
Ulama sepakat bahwa tawaf jalan kaki lebih utama daripada berkendaraan. Namun perbuatan rasul salam tersebut memberikan implikasi hukum bahwa syarat sah tawaf itu bukan jalan kaki. Maka Rasulullah memilih yang paling mudah diantara keduanya yaitu dengan berkendaraan.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata:
مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطْ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ قَطْ إِلاَّ أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ فَيَنْتَقِمُ ِللهِ تَعَالىَ
“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan antara dua perkara kecuali mengambil yang paling ringannya, selama tidak berdosa. Jika ada dosanya, maka Beliau adalah orang yang paling jauh terhadapnya. Rasulullah juga tidak pernah membalas karena dirinya disakiti kecuali jika larangan Allah yang dilanggar, saat itulah Beliau marah karena Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam hal ini, umat Islam diperintahkan untuk membuat jalan hidup mereka mudah, pemaaf, dan jauh dari kekerasan, dengan tetap tidak melanggar larangan dan batasan Tuhan. Pelanggaran agama dan dosa tidak boleh dilakukan, dan hak Allah tidak boleh dinodai dalam masyarakat muslim.
Jika ini terjadi, seorang Muslim harus marah karena Allah dengan mengikuti teladan Nabi, sambil mempertimbangkan untuk menempatkan segala sesuatunya dalam proporsinya, dan kemarahan itu berada pada tempatnya yang tepat dan tidak berlebihan, agar tidak merusak sesuatu yang harusnya diperbaiki. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

