Oleh: Kuswati Amirah, MA

(Mahasantri Zawiyah Jakarta)

 

 

Akhlak adalah salah satu bimbingan Allah agar manusia mencapai kebaikan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam Islam, akhlak tidak lepas dari tuntunan yang berorientasi pada amalan lahiriyah maupun amalan batiniyah. Pembagian amalan ini bukanlah berarti pendikotomian, karena pada dasarnya Islam menghendaki keselarasan dua unsur esensial manusia yaitu lahir dan batin. Oleh karena itu, segala perbuatan harus dimulai dengan kondisi kesadaran batin yang kita kenal dengan niat, dengan dasar niat inilah akan melahirkan kekutan berfikir dan perbuatan nyata.

Salah satu akhlakul karimah yang harus ditanamkan dan dimiliki setiap individu adalah bersyukur. Karena melalui benih bersyukur pada diri seseorang akan tumbuh sifat-sifat mulia lainnya, seperti ikhlas, tawakal, qonaah, dan sabar. Demikian pula sebaliknya, manusia yang tidak bersyukur akan memunculkan sifat negatif yang merugikan, baik untuk dirinya pribadi maupun terhadap lingkungan sosialnya, seperti putus asa, buruk sangka, iri, hasad, dan sombong.

Dampak orang yang bersyukur dari sudut pandang psikologis tidak lepas dari hakekat makna dasar bersyukur itu sendiri, dan beberadaan manusia yang tidak bisa lepas di unsur lahir dan batinnya. Mengutip pandangan Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang pakar bahasa al-Qur’an dan penulis buku Al-Mufradat fi Gharib AlQuran yang fenomenal, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “syukur” mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.” Lebih lanjut, kata ini menurut ulama berasal dari kata “syakara” yang berarti “membuka” sehingga ia merupakan lawan dari kata “kafara” (kufur) yang berarti menutup (salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

Hal ini selaras dengan apa yang gaungkan oleh para ulama ketika membicarakan unsur-unsur bersyukur, bahwa bersyukur dimulai dari hati, dikuatkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan.

Jika kita telaah lebih mendalam, asal makna syakara yang berarti membuka, orang yang bersyukur artinya orang yang membuka hatinya dan mengakui pemberian,dan menampilkan hal yang syukuri itu dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Maka tanda orang bersyukur dapat diukur dengan rasa bahagia yang dirasakan dan komitmen terhadap nikmat yang diberikan.

 

Bahagia

Bahagia adalah salah satu bentuk emosi manusia, di mana emosi adalah respon kita terhadap sesuatu yang terjadi. Pengertian bahagia menjadi topik pembicaraan yang menarik di banyak disiplin ilmu, seperti ilmu keislaman, ilmu psikologi, ilmu sosial dan juga filsafat. Islam tentu saja memberikan pijakan yang jelas dalam risalahnya, karena tujuan dari syari’at dalah mencapai kebahagiaan yang terangkum dalam poin-poin maqashid syari’ah.

Menurut Aristoteles, manusia mampu merasakan kebahagiaan di atas kesenangan fisik. Artinya, hal-hal yang bersifat terpenuhinya materi tidaklah semata-mata menjadikan seseorang meraih kebahagiaan. Sedang Islam melihat kebahagiaan itu sebagai sesuatu yang harus bernilai objektif, maksudnya adalah manusia dikatakan menjadi manusia yang bahagia jika apa yang dilakukan sesuai dengan nilai-nilai agama.

Orang bahagia dalam pandangan Islam adalah orang yang dengan penuh kesadaran dari hati dan perilakunya tunduk dan patuh kepada aturan Allah. Orang yang bersyukur akan melahirkan rasa bahagia, karena ia mengakui pemberian pihak lain dengan penuh kesadaran. Pengakuan ini sangat penting karena seseorang yang mengakui sesuatu yang kecil terlihat begitu besar. Sebaliknya, orang yang tidak bersyukur maka tidak ada celah pengakuan padanya sehingga sesuatu yang besar dan nyata di hadapannya tidak mungkin terlihat dan dirasakan.

Sikap saling menghargai, menghormati, dan terpenuhinya kebutuhan spiritual dengan cakupan akhlaqul karimah adalah salah satu intrumen kebahagiaan secara psikologis yang harus terpenuhi. sebagai pengaplikasian makna ibadah yang lebih luas. Oleh karena itu Rosul mengingatkan kita:

“Bukanlah orang kaya dengan banyaknya harta, tapi orang kaya adalah orang yang kaya hati”

Jadi orang yang bersyukur akan meningkatkan nilai kebahagian dalam hidupnya, orang yang bahagia, maka akan memancarkan energi positif bagi dirinya dan orang lain. Ketika energy positif mendominasi, maka akan menambah kebaikan dan kemanfaatan sebagaimana surah Ibrahim: 11

 

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

 

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

 

 

Komitmen

Komitmen adalah suatu kondisi di mana sesorang terikat dalam suatu hal, maka unsur dari sebuah komitmen adalah pihak yang berkomitmen, pihak lain yang berkomitmen dengannya, hal-hal yang dikomitmenkan, kesungguhan menjalankan komitmen. Ranah komitmen dalam Islam tergambar ketika seseorang bisa terhindar dari sifat munafik, sebagaimana hadis yang disampaikan Rosul yang diriwayatkan oleh Imama Bukhari mengenai ciri-ciri orang munafik.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat).”.

Perbuatan munafik semuanya bersumber kepada pemasalahan dusta, baik dusta secara ucapan, dusta secara perilaku atau pun dusta secara amanah.

Orang yang bersyukur, pada hakekatnya mengikatkan dirinya dengan pihak lain dalam hal ini adalah Allah SWT, dengan kemauan yang kuat menggunakan nikmat dengan sebaik-baiknya. Ketika bersyukur dengan umurnya maka ia gunakan nikmat umur dengan sebaik-baiknya. Bersukur terhadap hartanya, maka dia gunakan harta dengan sebaik-nyanya mulai dari pencariaannya, dan penggunaaanya. Bersyukur dengan jabatannya, maka akan gunakan jabatannya sebagai ladang amanah kebaikan.

Kejujuran diwakili dari sikap komitmen sebaliknya ketidak jujuran atau dusta diwakili oleh sikap tidak komitmen. Sikap jujur akan berdampak keberkahan sedangkan tidak jujur akan berdampak kehancuran. Sebagaimana firman Allah surah Al-Mu’min: 28

 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ…

“…Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.”

Jadilah orang yang penuh syukur, agar kita bahagia dan mampu berkomitmen memanfaatkan augerah Allah yang terbentang luas.

 

 

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

Artikel yang Direkomendasikan

1 Komentar

  1. Very interesting subject, thanks for putting up. “Remember when life’s path is steep to keep your mind even.” by Horace.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *