Admin
Oleh: Hayat Abdul Latief
Rasulullah patut menjadi contoh dalam segala hal kebaikan termasuk dalam hal kedermawanan. Kita dapati dalam Sirah Nabawi dalam perjalanan hidupnya beliau adalah orang yang sangat dermawan. Rasulullah SAW bersabda,
السَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنْ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنْ الْجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنْ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنْ النَّارِ وَالْبَخِيلُ بَعِيدٌ مِنْ اللَّهِ بَعِيدٌ مِنْ الْجَنَّةِ بَعِيدٌ مِنْ النَّاسِ قَرِيبٌ مِنْ النَّارِ وَلَجَاهِلٌ سَخِيٌّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ عَالِمٍ بَخِيلٍ
“Orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan S, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil (pelit) itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka. Sesungguhnya orang bodoh yang dermawan lebih Allah cintai dari pada seorang alim yang bakhil.” (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu)
Berikut ini definisi dermawan yang sangat bagus,
وحقية الجود أن لا يصعب عليه البذل
“Hakikat dermawan adalah orang yang tidak sulit memberikan sesuatu,” (Lihat Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 135)
Bila dermawan didefinisikan orang yang tidak sulit memberikan sesuatu maka orang bakhil adalah yang sulit memberikan sesuatu.
Allah SWT berfirman;
هَٰٓأَنتُمْ هَٰٓؤُلَآءِ تُدْعَوْنَ لِتُنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَمِنكُم مَّن يَبْخَلُ ۖ وَمَن يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَن نَّفْسِهِۦ ۚ وَٱللَّهُ ٱلْغَنِىُّ وَأَنتُمُ ٱلْفُقَرَآءُ ۚ وَإِن تَتَوَلَّوْا۟ يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوٓا۟ أَمْثَٰلَكُم
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad: 38)
Juga firman-Nya;
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Berkenaan orang yang mampu berqurban lalu kemudian tidak menunaikannya, Rasulullah bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang siapa yang mempunyai keluasan rizeki dan tidak berkurban, maka jangan pernah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ibnu Majah: 3123)
Berkurban merupakan salah satu syiar dari syiar-syiar Allah yang tujuannya seorang muslim mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam hadits di atas orang yang memiliki kemampuan untuk membeli binatang kurban namun tidak melakukannya, maka dilarang untuk salat Idul Adha bersama Rasulullah sebagai hukuman dari kebakhilanya.
Hadits ini cukup menjadi peringatan bagi orang kaya yang mampu melakukan kebaikan sosial lalu tidak melakukannya maka diragukan kesalehannya. Karena kesalehan individu harus dibarengi dengan kesalehan sosial. Hablum minallah harus dibarengi dengan habluminannas – menjalin hubungan baik dengan Allah SWT melalui ibadah mahdhah harus dibarengi dengan ibadah sosial seperti zakat sedekah infaq dan berqurban. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)
