L

 

Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Saidina Ali radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada sahabat juga muridnya, Kumail bin Ziyad;

 

يا كميل بن زياد القلوب أوعية فخيرها أوعاها للعلم احفظ ما أقول لك الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل نجاة وهمج رعاع اتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إلى ركن وثيق

 

Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Hafalkanlah baik-baik apa yang akan aku sampaikan kepadamu:

 

Manusia itu terdiri dari 3 golongan, (1) seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. (2) Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. (3) Orang yang tidak berguna dan hina, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara.

 

Mereka (orang ketiga ini) selalu mengikut ke mana arah angin bertiup. Langkahnya tidak disinari oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada pilar yang kokoh.” (Hilyah al-Auliya)

 

…..

 

Dalam Islam, hati memiliki kedudukan yang tinggi pada diri manusia. Hati, tempatnya iman, kejujuran, keyakinan dan pengagungan kepada Sang Pencipta semesta alam. Hati, tempatnya rasa takut, tawakal, kecintaan kepada Allah, ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah semata.

 

Allah SWT telah menciptakan pada setiap manusia tiga wadah yang pokok: otak, hati, dan perut. Otak wadah berfikir dan mengingat. Hati wadah bagi iman dan tauhid. Sedangkan perut wadah bagi makanan dan minuman. Masing-masing wadah butuh pengisian, kitalah yang berkewajiban mengisinya dengan benar dan kita pula lah yang akan mendapatkan buahnya.

 

…..

 

Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman, karena keyakinannya yang benar, juga akan mengangkat orang-orang yang berilmu beberapa derajat dibandingkan orang-orang yang tidak berilmu. Disebutkan dalam Al-Qur’an,

 

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

 

“...Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādalah: 11)

 

Dalam hal ilmu, manusia menurut sayyidina Ali RA terbagi 3. Yang pertama dan yang kedua adalah orang yang terpuji, yaitu alim (orang berilmu yang mengajarkan ilmunya) dan muta’allim (orang yang mau belajar dari orang alim). 2 macam orang ini masuk dalam kategori hadits,

 

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

 

Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya faham tentang agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Sedangkan yang ketiga selain dua orang di atas adalah dianggap tidak berguna dan hina. Ciri-ciri orang ketiga: tidak punya pendirian, perkataan-perbuatan atau langkahnya tidak disinari oleh cahaya ilmu, dan tidak berada pada hujjah yang kuat, sehingga kerap menjadi korban media sosial.

 

Dalam setiap kegiatan manusia tidak terlepas dari alat komunikasi yang nampaknya semakin hari semakin tidak terbendung. Tampak sekali setiap saat kita melihat orang-orang selalu memegang alat komunikasi. Dengan kecanggihan alat ini begitu banyak informasi yang dapat diakses.

 

Menyikapi hal demikain, jangan sampai umat Islam menjadi korban media sosial media (sosmed) tersebut. Gunakanlah alat tersebut sebijak dan sebaik mungkin – dalam berkomunikasi dan mencari informasi yang benar, jangan sampai alat ini menjadi madharat untuk pribadi dan untuk banyak orang.

 

Islam menekankan tabayyun dalam setiap menerima informasi. Secara bahasa tabayyun adalah mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas dan benar keadaan sesungguhnya. Sementara secara istilah tabayyun adalah meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan suatu permasalahan baik dalam perkara hukum, kebijakan dan sebaginya hingga sampai jelas benar permasalahnnya, sehingga tidak ada pihak yang merasa terdzolimi atau tersakiti dan terhindar dari perpecahan antar sesama manusia. Allah SWT berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

 

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat:6)

 

Merujuk kepada kalimat, “...dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara.” Dari kalimat sayyidina Ali RA ini, kita berkesimpulan, bahwa orang yang bukan alim dan bukan muta’alim wajar saja menjadi korban media sosial, tetapi mereka (alim dan muta’alim) sangat tidak pantas dan tidak wajar ikut-ikutan menjadi korban media sosial. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

 

*(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)*

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *