Bangga dengan Dosa?: Salah!
Oleh: Hayat Abdul Latief
Allah SWT berfirman,
أَلَمْ يَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ ٱلتَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِۦ وَيَأْخُذُ ٱلصَّدَقَٰتِ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104)
……
Dalam menjalani hidup dan kehidupan, tak jarang kita tidak bebas dari dosa dan kesalahan. Orang yang terbaik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat dosa, namun orang yang bertaubat sesudah melakukannya. Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ditakdirkannya Nabi Adam dan Ibunda Hawa melanggar larangan Allah SWT dengan memakan buah pohon yang terlarang, bukan berarti melahirkan doktrin dosa warisan, yang mana setiap bayi yang dilahirkan menanggung dosa waris dari manusia pertama itu. Nabi Adam dan Ibunda Hawa sudah bertaubat dan Allah SWT menerima taubat mereka berdua. Firman-Nya,
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 37)
Hikmah ditakdirkannya Nabi Adam dan ibunda Hawa melakukan kesalahan adalah bahwa siapa pun dari anak cucunya yang berbuat dosa lalu bertaubat maka Allah menerima taubatnya. Ajaran ini lebih masuk akal daripada ajaran dosa warisan. Allah SWT berfirman,
فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka siapa pun yang bertobat sesudah melakukan kejahatan dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Maidah: 39)
Terkait kemurahan Allah dalam mengampuni dan menyayangi para hamba-Nya bahkan lebih besar daripada siksaan yang ditimpakan apabila berbuat dosa. Itulah kemurahan ampunan Allah. Luas dan tidak memiliki batas. Rasulullah SAW bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ، وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ، فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi (Allah) Yang diriku berada di tangan-Nya, jika kalian tidak berbuat dosa, Allah akan hilangkan kalian dan Allah akan datangkan kaum lain yang berdosa, lalu mereka pun minta ampun kepada Allah, Allah pun ampuni dosa mereka.” (HR. Bukhari-Muslim)
Maksud hadits yang disebutkan adalah menegaskan, bahwa ampunan Allah begitu luas dan besar, sehingga perumpamaannya dibuat sedemikian rupa sebagaimana hadits tadi. Namun jangan sekali-kali kita maknai hadits di atas menjadi sebuah tanda legalitas untuk kita melakukan suatu dosa. Itu tidaklah benar.
Seorang hamba yang berbuat dosa sebagaimana ayat dan hadits di atas akan diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Lagi-lagi hal ini karena merupakan keluasan rahmat Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, Allah tidak mentoleransi seorang hamba yang berbuat dosa kemudian ia memamerkan dosa yang ia lakukan kepada orang lain atau khalayak umum. Terkait dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Seluruh umatku diampuni kecuali al-mujaahirun (orang yang melakukan al-mujaaharah). Dan termasuk bentuk al-mujaaharah adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi dosanya namun dia berkata, “Wahai fulan semalam aku telah melakukan dosa ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya di malam hari, akan tetapi di pagi hari dia membuka kembali dosa yang telah ditutup oleh Allah tersebut.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Al-Mujahirun. Bagaimana tidak membuat Allah murka, ia telah berbuat dosa, kemudian Allah tutupi aibnya itu di dunia, bahkan di akhirat kelak rahmat Allah pun masih dilimpahkan kepadanya, namun apa yang ia perbuat? Alih-alih menyesal, malah ia bangga dengan perbuatan dosanya. Tidak hanya bangga, ia memamerkan dosa yang ia lakukan dengan menceritakannya kepada orang lain. Bahkan di era media sosial, perbuatan dosanya pun ia unggah di akunnya supaya orang-orang tahu. Herannya ia melakukan hal itu dengan bangganya, di saat Allah memberinya kesempatan untuk bertaubat. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)