Ketika Orang Kagum kepadamu
Oleh: Hayat Abdul Latief
Allah SWT berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ
“Jika kalian melihat orang-orang yang gemar memuji, maka lemparkanlah debu ke wajah mereka.” (HR. Muslim no. 3002)
………..
Ketika seseorang mendapatkan pujian dan kekaguman dari orang lain, hendaknya ia tidak terpedaya dan merasa dirinya benar-benar istimewa. Sebab, hakikatnya segala kebaikan yang tampak darinya hanyalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara keburukan yang ada dalam dirinya sedang ditutupi oleh Allah.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawy rahimahullah:
“Jika kamu melihat orang-orang yang kagum padamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka sedang mengagumi sisi baik yang Allah tampakkan pada dirimu, dan mereka tidak tahu sisi buruk yang sedang Allah tutupi dari dirimu.”
Sikap seorang mukmin dalam menghadapi pujian hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan dosa. Imam Muhammad bin Wâsi’ rahimahullah pernah berkata:
لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ، مَا جَلَسَ إِلَيَّ أَحَدٌ
“Seandainya dosa itu memiliki bau, niscaya tak seorang pun sudi duduk di dekatku.”
Pernyataan ini mengingatkan kita agar tidak tertipu oleh pujian manusia dan selalu mengingat kelemahan diri sendiri.
Dalam kitab Risalah al-Mu’awanah, disebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan pujian yang sesuai dengan keadaannya, hendaknya ia membaca doa berikut:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَظْهَرَ الْجَمِيْلَ وَسَتَرَ الْقَبِيْحَ
“Segala puji bagi Allah, Dzat yang menampakkan yang baik dan menutupi keburukan.”
Doa ini merupakan bentuk pengakuan bahwa segala kebaikan yang tampak dari seseorang adalah karunia Allah, sementara keburukan yang tersembunyi merupakan bukti kasih sayang Allah yang menutupinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan bahaya pujian yang berlebihan. Kita diajarkan agar tidak terlalu larut dalam pujian manusia, karena bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kesombongan dan ketertipuan. Dengan demikian, seorang mukmin seharusnya tetap bersikap rendah hati meskipun dipuji oleh banyak orang. Sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:
إِذَا كَثُرَتْ عُيُوْبُكَ فِي البَرَايَا، وَسَرَّكَ أَنْ تَكُوْنَ لَهَا غِطَاءَ، فَتَسْتُرْ بِالسَّخَاءِ فَكُلُّ عَيْبٍ يُغَطِّيْهِ كَمَا قِيْلَ السَّخَاءَ
“Jika aib-aibmu banyak di hadapan manusia, dan engkau ingin agar itu tertutupi, maka tutupilah dengan kedermawanan, karena setiap aib bisa tertutupi oleh kebaikan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang.”
Kesadaran akan kelemahan diri dan keutamaan bersikap rendah hati juga dijelaskan oleh Al-Qur’an:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا ﴿٣٧﴾
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya engkau tidak akan mampu menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra’: 37)
Dengan memahami hal ini, kita akan terhindar dari sifat ujub (bangga diri) dan senantiasa merendahkan hati di hadapan Allah serta manusia. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang selalu bersyukur atas nikmat-Nya dan menyadari segala kelemahan diri kita. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)