
Synthetic Intelligence dan Masa Depan Kecerdasan: Sebuah Renungan Ilmiah, Filosofis, dan Spiritual
“Jalan menuju Allah dimulai dari hati, bukan dari kalkulasi akal.” Maka, secanggih apapun Synthetic Intelligence, tanpa nur qalb ia akan kehilangan arah.
Dari Mimpi ke Kenyataan Digital
Sejarah peradaban manusia selalu ditandai oleh lahirnya alat yang mengubah cara kita berpikir, bekerja, dan berinteraksi. Dari pena buluh hingga mesin cetak, dari roda hingga internet—setiap era memiliki “kecerdasannya” sendiri. Kini, dunia digemparkan oleh klaim-klaim tentang kecerdasan baru: Artificial Intelligence (AI) yang mulai memasuki kehidupan sehari-hari, dan istilah baru seperti Synthetic Intelligence (SI) yang dijual sebagai “generasi penerus AI” yang lebih adaptif dan otonom.
Tetapi benarkah kita sedang menyaksikan kelahiran kecerdasan yang “hidup” di luar batas manusia? Atau sekadar kilau pemasaran yang mengulang pola lama: menjual janji masa depan demi kekuasaan teknologi?
????Sejarah Singkat: Dari Filsafat Mesin ke Algoritma Prediktif
Sejak zaman Yunani kuno, manusia telah membayangkan makhluk buatan yang bisa berpikir. Filsuf seperti Aristoteles merumuskan logika formal (syllogism), yang kelak menjadi fondasi komputer modern. Abad pertengahan mengenal otomaton mekanik, sementara abad ke-20 melahirkan komputer digital, hingga tahun 1950-an Alan Turing mengajukan pertanyaan terkenal: “Can machines think?”
AI generasi pertama (1950–1980) lahir sebagai mesin aturan (rule-based systems). Generasi kedua (1980–2010) masuk era machine learning. Generasi ketiga (2010–sekarang) berkembang dengan deep learning yang mengandalkan data masif. Namun, semua itu tetaplah prediktif dan reaktif—bukan kreatif sejati, ia menebak pola, bukan mencipta kesadaran.
Banyak yang masih berupa agen otomatis (autonomous agents) yang bekerja dengan data dan arahan manusia sebagai bahan bakar utama.
????Synthetic Intelligence: Klaim atau Lompatan?
Istilah Synthetic Intelligence pernah muncul dalam literatur akademis untuk menggambarkan kecerdasan yang dibangun (synthetic = tersintesis), bukan sekadar meniru manusia. Namun, belakangan istilah ini dihidupkan kembali oleh beberapa perusahaan teknologi dengan janji: kecerdasan yang mampu mendesain dirinya sendiri, beradaptasi, dan menyelesaikan masalah tanpa arahan manual.
Bila benar, ini mendekati visi autonomous intelligence agents yang dapat:
Menulis kode, menguji, dan meluncurkan aplikasi secara otomatis.
Menyusun strategi bisnis dan desain produk tanpa menunggu perintah rinci.
Belajar dari konteks nyata secara real time.
Namun, secara teknis publikasi ilmiah belum menunjukkan bukti adanya kecerdasan sintetis yang benar-benar mandiri penuh. Kebanyakan masih AI agents yang bekerja dengan batasan data dan instruksi awal manusia.
????Perspektif Filsafat & Etika: Di Mana Peran Manusia?
Filsafat klasik mengajarkan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya berpijak pada logika, tetapi juga kesadaran, niat, dan tujuan moral. Jika suatu sistem dapat mencipta solusi tanpa arah etis, mungkinkah ia membawa maslahat atau justru kerusakan?
Al-Qur’an memperingatkan:
> “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)
Hadis Nabi ﷺ juga menegaskan:
> “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kecerdasan tanpa moralitas hanya mempercepat kehancuran, bukan peradaban.
????Tasawuf dan Kecerdasan: Hati Sebagai Pusat Kesadaran
Dalam tasawuf, kecerdasan tertinggi bukanlah kecepatan otak, tetapi kejernihan hati (qalb). Imam al-Ghazali menulis bahwa ilmu tanpa cahaya hidayah bagaikan pedang di tangan orang gila—tajam, tetapi membahayakan.
Dalam tafsir klasik disebutkan Nabi Idris dikenal dengan hikmah, tulisan, dan ilmu perbintangan. Ia dianggap sebagai pencetus tulisan dan pengukur waktu (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Maryam: 56–57). Teknologi di tangannya bukan untuk kesombongan, tetapi untuk mencatat wahyu dan menata kehidupan umat.
> “Dan sebutlah Idris dalam Al-Kitab, sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam: 56)
Kisah umat terdahulu juga mengajarkan: kaum ‘Ad dan Tsamud memiliki teknologi maju pada zamannya, membangun kota dengan pilar-pilar raksasa (QS. Al-Fajr: 6–9), tetapi karena kesombongan dan pengabaian akhlak, mereka dibinasakan.
Dalam sejarah, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam adalah contoh pemimpin yang dianugerahi kekuasaan atas teknologi yang luar biasa: angin yang patuh, jin yang membangun istana, burung yang menjadi kurir berita (QS. Saba: 12–14, QS. An-Naml: 20–28).
> “Maka Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya… dan (Kami tundukkan) jin yang bekerja di hadapannya…” (QS. Saba: 12–13)
Dalam QS. Al-Kahfi: 83–98, Dzulqarnain membangun dinding raksasa untuk menahan Ya’juj dan Ma’juj. Ia memiliki akses perjalanan global dan rekayasa infrastruktur, namun tetap mengakui:
> “Ini adalah rahmat dari Tuhanku…” (QS. Al-Kahfi: 98)
Fir’aun membangun menara tinggi (QS. Al-Qashash: 38) untuk menantang Allah, bukan untuk menegakkan kebenaran.
Perhatikan: teknologi itu ada, tetapi tetap di bawah wahyu, akhlak, dan amanah kenabian. Ketika ia wafat, para jin bahkan tidak sadar hingga tongkatnya rapuh, menunjukkan bahwa ilmu tanpa petunjuk Allah adalah lemah.
Maka, apakah kita akan mengulangi kesalahan itu—membangun “kecerdasan sintetis” tanpa kesadaran ilahiah?
????Futuristik: Ke Mana Arah Ilmu Pengetahuan?
Jika benar Synthetic Intelligence berkembang, masa depan akan dihuni oleh:
1. Sistem otonom yang mampu mencipta, memutuskan, dan mengendalikan produksi.
2. Peralihan tenaga kerja dari manusia ke mesin dalam skala besar.
3. Perang algoritma—siapa yang menguasai kecerdasan, menguasai dunia.
Tetapi juga terbuka peluang besar:
Menghapus kemiskinan lewat otomatisasi distribusi.
Meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan.
Menjadi sarana dakwah modern—jika dikawal oleh ulama dan intelektual yang berakhlak, bisa menjadi sarana dakwah cepat dan luas.
Mempercepat riset ilmu keislaman dengan integrasi data lintas zaman.
Menciptakan akses ilmu bagi kaum dhuafa jika diarahkan untuk maslahat.
???? Amalan Zikir/Doa Menghadapi Fitnah Teknologi
Untuk memohon perlindungan dari fitnah ilmu tanpa petunjuk, Rasulullah ﷺ mengajarkan beberapa doa, di antaranya:
1. Doa Perlindungan dari Ilmu yang Tidak Bermanfaat:
> اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim)
2. Doa petunjuk kebenaran:
> اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami kemampuan mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan dan berilah kami kemampuan menjauhinya.” (HR. Ahmad)
3. Zikir Pagi-Petang untuk Keselamatan Zaman Fitnah:
> بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dengan nama Allah yang bersama nama-Nya tidak ada sesuatu pun yang membahayakan di bumi dan di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
4. Perbanyak Istighfar dan Shalawat, karena keduanya membuka pintu ilmu yang penuh rahmat, bukan fitnah.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah, aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)
5. Zikir Asmaul Husna “Al-Hakim” dan “Al-‘Alim”
Diamalkan untuk memohon ilmu yang bermanfaat dan hikmah dalam mengelola kemajuan.
6. Doa Nabi Sulaiman: Memohon Kekuasaan Ilmu yang Berkah.
> رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِّن بَعْدِي ۖ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan/kemampuan) yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 35)
????Kesimpulan: Dari Kecerdasan ke Kebijaksanaan
AI dan SI hanyalah alat. Yang menentukan arahnya adalah manusia: apakah ia menjadi wasilah rahmat, atau senjata kerusakan. Islam mengajarkan keseimbangan: mengembangkan ilmu dengan tanggung jawab (mas’uliyyah), mengintegrasikan logika dengan tasawuf, dan menjadikan wahyu sebagai kompas utama. Islam mengajarkan bahwa setiap ilmu yang hadir membawa dua sisi: rahmat jika diarahkan dengan iman, fitnah jika dilepas tanpa kendali.
> “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya…” (QS. Al-Baqarah: 31)
Ayat ini mengingatkan, kecerdasan adalah anugerah untuk mengenal, bukan untuk menandingi Sang Pencipta.
#zawiyahjkarta
#jejakjiwa
#artificialintelligence
#synteticintelligence
