Oleh: Hayat Abdul Latief
*Bertauhid: Tiada Tuhan Selain Allah*
Bagi seorang muslim tauhid adalah harga mati. Surat Al-Ikhlas berikut cukup mewakili tentang tauhid dan siapa Allah subhanahu wata’ala:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ اللّٰهُ الصَّمَدُۚ لمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ ولَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)
Dalam Perjanjian Lama, kitab Ulangan 6:4, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!”
Dalam Perjanjian Baru, Gospel Markus 12:28-32:
(28). Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya:”Hukum manakah yang paling utama?’
(29). Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.
(30). Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.
Klaim kafir dari Al-Qur’an terhadap orang yang memiliki keyakinan trinitas:
لَّقَدْ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا۟ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah: 73)
Semua para nabi mengajarkan tauhid. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiya: 25).
Nilai kalimat لا إله إلا الله bila dibandingkan dengan alam semesta akan lebih berat. Simak dialog nabi Musa AS dengan Allah subhanahu wata’ala dalam hadits berikut:
وعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
قال موسى عليه السلام : يا رب علمني شيئاً أذكرك وأدعوك به ، قال : قل يا موسى لا إله إلا الله . قال : كل عبادك يقولون هذا ، قال : يا موسى لو أن السموات السبع وعامرهن غيري والأرضين السبع في كفة ، ولا إله إلا الله في كفة ، مالت بهن لا إله إلا الله (رواه ابن حبان والحاكم وصححه)
”Dan dari Sa’iid al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu dari Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda: “Berkata Muusa ‘alayhis salaam: ‘Wahai Rabb, ajarkanlah padaku sesuatu yang dengannya aku berdzikir kepadaMu dan berdoa kepadaMu’. Maka (Allah) berfirman: ‘Wahai Musa, Ucapkanlah: ‘Laa ilaaha illaLLaah’. Berkata (Musa) : ‘Setiap hamba-Mu mengucapkan hal ini’. (Allah) berfirman: ‘Wahai Musa, seandainya langit yang tujuh serta seluruh penghuninya, selain Aku, dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu sisi timbangan dan kalimat Laa ilaaha illaLLaah diletakkan pada sisi lain timbangan, niscaya kalimat Laa ilaaha illaLLaah lebih berat timbangannya.” (HR. Ibnu Hibbaan dan Al-Hakim dan menshahiihkannya)
Allah memuliakan ahli iman sehingga dia akan dikeluarkan dari neraka meskipun di dunia termasuk pendosa. Sedangkan perbuatan membuat persamaan, padanan dan sekutu bagi Allah (syirik) merupakan dosa yang paling besar yang pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah kalau meninggal dalam keadaan tidak bertobat dari syirik. Firman-Nya:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. Al-Maidah: 48)
Dengan demikian tauhid merupakan inti dakwah semua para nabi dan umat Islam berpegang teguh kepadanya. Sehingga kalau ada umat yang mengaku sebagai pengikut nabi tertentu, kemudian memiliki aqidah di luar tauhid, maka mereka melenceng dari ajaran panutannya.
*Nabi Adam Bertaubat*
Termasuk ciri orang yang bertaqwa adalah ingat Allah dan mohon ampun kepada-Nya, apabila telah menganiaya diri atau berbuat keji. Sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala:
وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 135)
Perilaku seorang muslim ingat kepada Allah, bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya setelah menganiaya diri dan berbuat keji sesuai dengan perilaku nabi Adam AS.
Setelah memakan buah pohon terlarang dan dikeluarkan dari surga, penyesalan dan merasa berdosa selalu mengiringi kehidupan Nabi Adam di bumi. Begitu juga Siti Hawa yang juga mengakui kesalahannya kepada Allah SWT.
Sehingga mereka berdua pun bertobat dan memohon ampunan dari Allah SWT. Sering kali dalam hidupnya di bumi, Nabi Adam mendatangi ka’bah, salat dua rakaat, dan berdoa kepada Allah.
Berikut adalah doa Nabi Adam untuk memohon ampunan dari Allah SWT.
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf:23).
Pertaubatan nabi Adam AS diterima Alah subhanahu wata’ala itu termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 36-37:
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat [kalimat untuk bertaubat seperti yang terdapat pada QS. Al-A’raf: 23] dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 36-37)
Dari ayat diatas menjadi jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubat nabi Adam dan nabi Adam tidak meninggalkan dosa warisan yang harus ditebus oleh Yesus dengan mati di tiang salib sebagaimana dogma kekristenan. Pelajaran yang bisa diambil, setiap kali kita berdosa maka segera ingat Allah bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang dosanya pasti diampuni oleh Allah subhanahu wata’alaa memberikan contoh keteladanan kepada umatnya dalam sehari bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya sebanyak 100 kali.
*Nabi Ibrahim Berkhitan*
Setiap laki-laki muslim pasti berkhitan. Dan khitan bagi laki-laki dihukumi wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ
“ Fitrah itu ada lima : khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak“. ( HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu)
Mari kita lihat dalam perjanjian lama, kitab Kejadian 17 : 9 – 14 yang berisi Nabi Ibrahim dan anak cucunya
melaksanakan khitan :
Lagi firman Allah kepada Abraham: “Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun. Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat;
haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu. Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu.
Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal.
Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku.
Dalam Perjanjian Lama kitab Kejadian 21 : 4, Nabi Ishak melaksanakan khitan:
“Kemudian Abraham menyunat Ishak, anaknya itu, ketika berumur delapan hari, seperti yang diperintahkan Allah kepadanya.”
Dalam Perjanjian Baru, Gospel Lukas 2 : 21. Yesus melaksanakan khitan:
“Dan ketika genap delapan hari dan ia harus disunatkan, ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibunya.”
Umat Islam merupakan di antara umat yang laki-lakinya harus berkaitan. Sementara ada umat lain yang mengaku sebagai pengikut nabi tertentu namun mereka tidak berkhitan padahal panutannya itu berkhitan pada hari ke-8 dari kelahirannya.
*Menutup Kepala (Berkerudung) bagi Wanita*
Dalam kajian fiqih Islam, aurat laki-laki (anggota tubuh yang tidak boleh perlihatkan di hadapan publik) dari pusar sampai lutut. Sedangkan aurat wanita seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Menutup aurat ini bagi Umat Islam berlaku ketika shalat maupun di luar shalat, kecuali di hadapan mahram tertentu.
Perintah berkerudung terdapat dalam Bible, 1 Korintus 11:5-6:
11:5 Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.
11:6 Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
Muslimah yang taat sudah pasti menutup auratnya di dalam shalat maupun di luar shalat. Dan faktanya para muslimah ada tidak berkerudung di luar shalat, namun ketika shalat mereka berkerudung, karena salat tidak sah tanpa menutup aurat. Berbeda dengan umat tertentu yang mengaku sebagai pengikut nabi tertentu, yang mana wanitanya tidak menutup kepala ketika masuk rumah ibadah
*Berwudhu*
Dalam kajian fiqih Islam, di antara syarat shalat, seorang muslim harus berwudhu, membasuh dan mengusap anggota tubuh tertentu. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. Al Maidah: 6)
Dalam Perjanjian Lama, kitab Keluaran 30:17-21:
30:17 Berfirmanlah Tuhan kepada Musa: 30:18 “Haruslah engkau membuat bejana dan juga alasnya dari tembaga, untuk pembasuhan, dan kautempatkanlah itu antara Kemah Pertemuan dan mezbah, dan kautaruhlah air ke dalamnya. 30:19 Maka Harun dan anak-anaknya haruslah membasuh tangan dan kaki mereka dengan air dari dalamnya.
Berwudhu dengan membasuh tangan dan kaki sebelum masuk rumah ibadah. Dalam ajaran Yesus, ketika seseorang hendak beribadah maka hendaknya dia membasuh tangan dan kakinya dengan air, atau yang disebut dalam agama Islam sebagai ritual wudhu, hal ini dijelaskan dalam kitab Perjanjian Lama (Old Statement/العهد العتيق ):
“Musa dan Harun serta anak-anaknya membasuh tangan dan kaki mereka dengan air dari dalamnya. Apabila mereka masuk kedalam kemah pertemuan dan apabila mereka dating mendekat kepada Mezbah itu, maka mereka membasuh kaki dan tangan –seperti apa yang diperintahkan Tuhan kepada Musa” (Keluaran 40:31-32).
Yang dimaksud dengan “kemah pertemuan” adalah tempat bertemu dangan Allah, sebagaimana yang ditafsirkan oleh ayat Keluaran 33:7.
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa ajaran Yesus memerintahkan berwudhu sebelum memasuki tempat ibadah, suci dari najis dan hadas. Namun kenyataan yang terjadi sekarang di gereja-gereja adalah umat kristiani meninggalkan ajaran ini. Umat islamlah yang mengamalkan ajaran berwudhu.
*Melepas alas kaki sebelum memasuki rumah ibadah*
Seorang muslim sebelum masuk tempat ibadah harus melepaskan alas kakinya baik sandal maupun sepatu. Perilaku ini sama dengan perilaku para nabi.
Yesus mengajarkan sebelum umatnya memasuki tempat ibadah, hendaknya mereka melepaskan alas kaki mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di bawah ini:
“Lalu ia berfirman: ‘Janganlah datang dekat-dekat, tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat dimana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus” (Perjanjian Lama, kitab Keluaran 3:5)
Namun kenyataannya umat yang mengaku sebagai pengikut Yesus mereka memakai sepatu ketika masuk tempat ibadahnya. Umat Islamlah termasuk umat yang melepaskan alas kaki ketika masuk tempat suci (masjid)
*Menghadap Kiblat*
Masih dalam kajian fiqih Islam, termasuk syarat shalat seorang muslim harus menghadap kiblat.
Ternyata yang menghadap kiblat bukan hanya umat Islam, ternyata umat terdahulu pun demikian:
“Tetapi aku, berkat kasih setia-Mu yang besar, aku akan masuk kedalam rumah-Mu, sujud menyembah kea rah bait-Mu yang kudus dan takut akan engkau” (Mazmur 5:8)
Dan memang umat Islam memiliki dua kiblat yaitu Masjidil Aqsha di Palestina dan Masjidil Haram di Mekah. Sebelum umat Islam berkiblat ke Masjidil Haram lebih dahulu mereka berkiblat ke Masjidil Aqsa selama 16 atau 17 bulan.
Menghadap kiblat secara otomatis tempat ibadahnya pun menghadap ke kiblat. Faktanya, tempat-tempat ibadah umat Islam (masjid) menghadap ke kiblat.
*Shalat yang terdapat di dalamnya ruku dan sujud*
Ada 13 rukun shalat, 2 di antaranya yaitu ruku dan sujud. Ternyata ruku dan sujud juga dikerjakan oleh nabi nabi dan umat umat terdahulu:
“Masukklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan Tuhan yang menjadikan kita” (Mazmur 95:6)
“Maka pergilah Musa dan Harun dari umat itu ke pintu Kemah Pertemuan, lalu sujud. Kemudian tampaklah kemuliaan Tuhan kepala mereka” (Bilangan 20:6)
“Lalu sujudlah Abram, dan Allah berfirman kepadanya : ‘dari pihak-Ku, inilah perjanjian-Ku dengan engkau, engkau akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa” (Kejadian 17:3-4)
“Maka Yesus maju sedikit, lalu sujud dan berdoa” (Matius 26:39)
Ibadahnya umat Islam yakni shalat yang di dalamnya terdapat ruku dan sujud. Sedangkan sekelompok umat yang mengaku sebagai pengikut nabi tertentu ketika mengadakan ibadah tidak melakukan ruku dan shalat.
*Berdoa dengan Menengadahkan Tangan*
Umat Islam dianjurkan berdoa dan ketika berdoa menengadahkan tangan ke langit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا »
“Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah maha pemalu lagi maha mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa.” (HR. HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Salman Al Farisi)
Perilaku ini dilakukan oleh nabi dan umat terdahulu:
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menengadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan” (1 Timotius 2:8)
*Walhasil, bertauhid, bertaubat, khitan, menutup kepala (berkerudung) bagi wanita, berwudhu, melepaskan alas kaki ke tempat suci (masjid), shalat dan berdoa dengan Menengadahkan tangan ke langit merupakan perilaku umat Islam. Perilaku yang sama dikerjakan oleh para nabi dan umat terdahulu.* Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.
*(Penulis adalah Khadim Korp Da’i An-Nashihah dan Mahasiswa S2 Zawiyah Jakarta)*