Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Diantara sekian nama-nama Allah ada An-Nafi dan Adh-Dhorr; hanya Allah lah Pemberi manfaat dan madharat. Seluruh makhluk tidak dapat memberi manfaat dan madharat. Makhluk jika terbukti memberi manfaat dan madharat, pasti atas kehendak Allah. Sedangkan Allah dapat memberi manfaat dan madharat tanpa berhajat kepada makhluk. Itulah akidah kita. Dalam Hadits disebutkan,

 

….وَاعْلَم أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَت عَلَى أن يَنفَعُوكَ بِشيءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلا بِشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ لَك، ولَوِ اِجْتَمَعوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشيءٍ لَمْ يَضروك إلا بشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفعَت الأَقْلامُ، وَجَفّتِ الصُّحُفُ) رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

 

“….Ketahuilah, kalau seandainya umat manusia bersatu untuk memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan untukmu, dan kalau seandainya mereka bersatu untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, niscaya tidak akan membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. At-Tirmidzi, dan dia berkata hadits ini hasan shahih)

 

Oleh karena itu memberikan manfaat dan madharat merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Pemberikan nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya bukan selalu berarti bentuk cinta. Demikian juga cobaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya bukan selalu berarti membencinya. Di bawah ini beberapa hal yang menandakan Allah mencintai hamba-hamba-Nya:

 

1. Allah subhanahu wa ta’ala akan membalaskan keburukan hambanya di dunia, agar nanti di akhirat terlepas dari pembalasan.

 

2. Allah subhanahu wa ta’ala bukakan hati kita untuk mengisi keyakinan yang kuat dan teguh.

 

3. Allah subhanahu wa ta’ala akan berikan pemahaman tentang agama Islam, hingga mampu menghayati dan mengamalkan menjadi cara hidup yang sempurna. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

 

‘Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah menjadikannya paham dalam perkara agama.’” (HR. Bukhari-Muslim dari Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu)

 

Selain 3 alasan di atas, Allah subhanahu wa ta’ala juga apabila mencintai suatu kaum, memberikan cobaan untuk mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء وإن الله إذا أحب قومًا ابتلاهم فمن رضي فله الرضا ومن سخط فله السخط

 

“Sesungguhnya besarnya balasan disertai besarnya bala, dan apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai suatu kaum Dia memberi cobaan kepada mereka. Maka siapa yang ridha maka baginya ridha dan siapa yang marah maka baginya kemarahan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu)

 

Bolehlah kita katakan, bahwa Allah mencintai penduduk Cianjur dan wilayah lain yang dengan memberikan kepada mereka cobaan berupa gempa bumi dan lainnya. Beruntunglah siapa di antara mereka yang ridho terhadap cobaan Allah subhanahu wa ta’ala dan merugilah orang yang marah terhadap cobaan-Nya.

 

Bersahabat dengan Takdir

 

Takdir merupakan ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala setiap makhluknya. Adakalanya takdir itu baik atau bahkan ada pula takdir yang buruk. Mungkin terkadang sering kali kita berfikir atas takdir yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kita tidak sesuai dengan kehendak kita atau keinginan yang kita mau semestinya. Perlu kita ketahui bahwa salah satu takdir yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala itu adalah ujian dan cobaan yang pastinya disesuaikan dengan kadar kemampuan dari hambanya. Namun, tidak sedikit umat manusia atau bahkan kita sendiri merasa bahwa ujian dan cobaan yang merupakan takdir Allah itu melebihi taraf kemampuannya.

 

Maka kalimat, “Siapa yang ridho maka baginya ridho.” maksudnya: Siapa yang menghadapi musibah-musibah itu dengan penuh keridhoan, maka Allah ridho kepadanya, membalaskan kebaikan dan pahala akhirat untuknya,

 

Kadang-kadang kalimat tersebut dipahami bahwa ridho hamba mendahului ridho Allah subhanahu wa ta’ala, padahal mustahil hamba ridho kepada Allah kecuali setelah ridho Allah kepadanya, sebagaimana Firman-Nya,

 

قَالَ اللَّهُ هَـٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١١٩﴾

 

“Allah berfirman, “Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. Al-Maidah: 119)

 

Tidak Bersahabat dengan Takdir

 

Orang yang tidak bersahabat dengan takdir Allah pasti mengalami banyak kerugian. Kalimat: Siapa yang marah (terhadap ketentuan Allah), maka marah akan menimpa dirinya sendiri, maksudnya orang yang menghadapi ujian Allah tanpa disertai keridhoan hati, maka Allah pun murka kepadanya, dan menimpakan siksaan kepadanya di akhirat. Yang demikian itu karena musibah, sakit dan penyakit merupakan kafarat penghapus dosa bagi orang yang beriman, juga sebagai hukuman yang berfungsi sebagai pembersihan di dunia agar mereka menjumpai Allah dalam keadaan bersih dari kotoran dosa di akhirat. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *