Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Menikah merupakan sunnah (jalan hidup) Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan sunnah nabi-nabi sebelumnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

 

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’du: 38).

 

Ini menunjukkan bahwa para rasul itu menikah dan memiliki keturunan. Demikian juga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sabdanya,

 

النكاح سنتي، فمن رغب عن سنتي فليس مني (رواه ابن ماجه من رواية عائشة)

 

“Nikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak suka dengan sunnahku maka dia bukanlah golongan kami.” (HR. Ibnu Majah dari riwayat Sayyidah Aisyah)

 

Wanita Yang Haram Dinikahi

 

Berkenaan dengan beberapa wanita yang haram dinikahi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ…..

 

“Diharamkan atas kamu (mengawini) 1. Ibu-ibumu; 2. Anak-anakmu yang perempuan; 3. Saudara-saudaramu yang perempuan, 4. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; 5. Saudara-saudara ibumu yang perempuan; 6. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; 7. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; 8. Ibu-ibumu yang menyusui kamu; 9. Saudara perempuan sepersusuan; 10. Ibu-ibu isterimu (mertua); 11. Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) 12. Isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan 13. Menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) 14. Wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu……” (QS. An-Nisa: 23-24)

 

Adapun selain 14 wanita seperti yang disebutkan dalam 2 ayat di atas, boleh kita nikahi. Mari kita perhatikan potongan lanjutan QS. An-Nisa’ Ayat 24,

 

…. وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

 

“…. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

 

Diantara wanita yang tidak disebutkan pada 2 ayat di atas adalah sebagai berikut:

 

Sepupu

 

Sesungguhnya Allah mengharamkan kita untuk menikahi wanita yang memiliki hubungan mahram dengan kita. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya di surat an-Nisa, ayat 23. Pada ayat tersebut Allah menyebutkan beberapa wanita yang tidak boleh dinikahi oleh lelaki, karena status mereka sebagai mahram. Terkait masalah ini, saudari sepupu bukanlah mahram, artinya boleh dinikahi sebagaimana pernikahan antara Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib radhiallahu’anhu dengan Fathimah binti Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

 

Besan

 

Dalam QS. An-Nisa’ Ayat 24, Allah subhanahu wa ta’ala juga mengharamkan menikah dengan perempuan yang masih bersuami (masih menjadi istri orang). Kemudian, Allah menegaskan, selain yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas maka boleh dinikahi. Rasulullah menjelaskan, hubungan sepersusuan itu juga mengharamkan sebagaimana hubungan nasab. Dan, dalam semua yang diharamkan itu tidak disebutkan besan, maka boleh hukumnya bagi mereka untuk menikah karena itu termasuk ke dalam apa yang dibolehkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Anak Angkat atau Istri Anak Adopsi 

 

Berkenaan dengan anak angkat kita lihat dulu duduk permasalahannya. Bila anak angkat memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya, seperti seorang paman mengangkat anak keponakannya, maka tidak diperbolehkan bagi keduanya untuk menikah. Namun, bila anak angkat itu tidak memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya maka diperbolehkan bagi keduanya untuk menikah. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang mengambil seorang anak perempuan sebagai anak angkat dimana di antara keduanya sama sekali tidak ada hubungan mahram, maka bila di kemudian hari laki-laki itu berkehendak menikahi anak angkatnya tidak ada halangan bagi keduanya untuk menikah. Hanya saja pada kasus yang kedua meskipun secara hukum keduanya boleh dan sah untuk menikah. Meskipun bisa jadi ini akan menjadi bahan perbincangan di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang tabu.

 

Jika itu terjadi tidak ada masalah. Tabu di dalam kalangan masyarakat atau adat tidak sama dengan tabu dalam hal agama. Karena kebenaran itu milik Allah bukan milik orang banyak. Demikian juga menikahi istri anak angkat, sebagaimana pernikahan Rasulullah dengan Zainab yang merupakan mantan istri anak angkatnya yaitu Zaid bin Haritsah radhiallahu’anhu. Dasar pijakanya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 

…وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ….

 

“….dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)….” (QS. Al-Ahzab: 4)

 

Naik/Turun Ranjang

 

Seorang lelaki dilarang menikahi dua wanita bersaudara atau keduanya bersama-sama menjadi istri satu orang. Namun demikian, jika istri pertama sudah pisah, baik karena perceraian maupun karena meninggal dunia, maka sang suami boleh menikahi adik atau istrinya atau yang disebut dengan turun/naik keranjang, karena sudah tidak lagi menggabungkan dua wanita bersaudara, seperti yang telah dilakukan oleh Utsman bin Affan yang menikahi Ruqoyah binti Rasulullah Muhammad. Setelah Ruqoyah wafat, Utsman bin Affan menikahi Ummu Kultsum yang juga putri Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *