Oleh: Hayat Abdul Latief
Fenomena di masyarakat, ada perilaku seseorang yang kecanduan foto selfie dan mengunggah ke akun media sosialnya. Kondisi ini bukan termasuk gangguan mental, melainkan bentuk perilaku narsisme yang bisa berkembang menjadi penyakit mental jika tidak disikapi dengan baik.
Para peneliti membagi perilaku selfitis menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah boderline, yaitu selfie tiga kali sehari tanpa mengunggah. Kedua kategori akut, yakni selfie tiga kali sehari dan mengunggah ke media sosial. Ketiga kronis, yaitu perilaku implusif berfoto selfie dan mengunggahnya setidaknya 6 kali sehari.
Fenomena selanjutnya adalah bangga berfoto bersama tokoh yang diidolakannya, baik dengan penguasa ataupun artis yang ternama. Inilah beberapa alasan yang mungkin bisa dijadikan sebab kenapa ada orang bila ketemu dengan pejabat, artis atau tokoh agama akan minta foto barengan:
1. Prestasi. Foto bareng mereka adalah sebuah prestasi karena ini merupakan momen yang langka.
2. Bangga. Foto bareng mereka adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi kebanyakan orang.
3. Pamer. Foto bareng mereka bisa dipamerkan ke orang lain.
4. Tabarruk. Dalam Ini adalah berfoto bersama ulama, kyai, habaib ustadz/ah dan seterusnya. Tujuan berfoto bersama mereka adalah untuk mengambil keberkahan Allah yang diberikan kepada orang sholeh/ah.
Foto Bareng Tuhan
Melihat fenomena semacam itu, bisa dipastikan seandainya wujud Tuhan bisa difoto, maka ada kemungkinan manusia berbondong-bondong selfie bersama-Nya. Untungnya Tuhan tidak seperti sesuatu yang ada foto, gambar, lukisan dan patungnya.
Dalam Al-Qur’an disebutkan;
….لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“…. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Allah SWT juga berfirman;
لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَٰرَ ۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103)
Filosofi ketuhanan masyarakat Jawa menyebutkan, wujud-Nya itu yang tidak bisa dikira-kira (tan keno kiniro) dan tak bisa dibayangkan (tan keno kinoyo ngopo).
Dalam agama Hindu, disebutkan, Na tasya pratama asti artinya: Bagi Tuhan itu tidak ada pratima, tidak ada keserupaan, tidak ada citra, tidak ada foto, tidak ada patung, tidak ada ukiran.
Jadi konsep tentang Tuhan yang benar adalah Tidak ada yang serupa dengan-Nya, wujud-Nya itu yang tidak bisa dikira-kira – tak bisa dibayangkan, dan Tuhan itu tidak ada keserupaan, tidak ada citra, tidak ada foto, tidak ada patung dan tidak ada ukiran-Nya. Itu semua tidak dimiliki kecuali oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Karena tidak bisa selfie dengan Allah subhanahu wa ta’ala, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk memasukkan kebesaran-Nya ke dalam hati kita dan menafikan tuhan-tuhan buatan manusia, dengan mengusir kebesaran selain dari-Nya. Lalu kita tunduk dan pasrah terhadap kehendak-Nya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

