Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Konon, sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah SAW, ada seorang pembunuh berantai berdarah dingin dari bani israil yang sudah membunuh 99 orang. Suatu hari, sang pembunuh kelas kakap itu ingin bertobat dan mendatangi seorang rahib (ahli ibadah, dengan puasa di siang hari dan menghidupkan malam beribadah). “Saya telah membunuh 99 manusia, kalau saya bertobat sudikah kiranya Allah menerima tobat saya.” Itulah pertanyaan sang pembunuh kepada rahib.

 

“Dosamu sangat besar. Betapa banyak jiwa yang kau hilangkan hak hidupnya. Tidak. Allah tidak akan menerima tobatmu.” Demikian jawaban sang Rohib kepada si pembunuh yang membuatnya kaget dan langsung menghunuskan pedangnya, membunuh rahib tersebut menggenapinya sebagai korban pembunuhan ke-100.

 

Keesokan harinya ia kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada seorang ahbar (kalangan terpelajar dari Bani Israil). “Saya ingin bertobat, saya telah menghilangkan 100 nyawa, menurut Anda mungkinkan Allah menerima tobat saya.” Itulah pertanyaan si pembunuh.

 

“Selagi nyawa belum sampai di tenggorokan, pintu tobat masih terbuka. Tetapi ada syarat yang kamu harus penuhi. Kamu haris pindah ke wilayah sebelah. Tempat tinggalmu sudah rusak, sebagai pusat kriminalitas. Kalau tetap di sana, kamu akan kesulitan memperbaiki diri. Sedangkan wilayah sebelah tempat yang cocok untuk memperbaiki diri, karena sebagai pusat kesalehan. Kalau tinggal di sana banyak perbuatan baik yang akan mengubah pola hidupmu.” Demikian jawaban bijak sang ahbar.

 

Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini, seorang rahib menghabiskan siangnya dengan puasa dan malamnya dengan ibadah dipandang oleh masyarakat sebagai orang sholeh. Orang sholeh harusnya berilmu. Kalau tidak, pasti salah menjawab pertanyaan dari seseorang atau salah memberikan fatwa sebagaimana sang rahib tersebut. Allah SWT berfirman,

 

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

 

“….maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

 

Ayat ini menjelaskan, jika seorang tidak tahu tentang masalah agama, hendaknya ia bertanya kepada orang yang mengetahuinya dari ulama-ulama yang berilmu mendalam, bukan bertanya kepada sembarang orang meskipun kelihatannya sholeh.

 

….

 

Qorun bukan hanya masih kerabat Nabi Musa, bahkan dalam suatu riwayat, juga menguasai dan memahami kitab taurat. Ketika masih sederhana dan ekonominya pas-pasan, qorun termasuk orang yang sholeh. Namun ketika Allah bukakan untukmu perbendaharaan kekayaan lantas menjadi orang yang sombong dan ingkar terhadap ajaran Nabi Musa.

 

Pelajaran yang diambil dari kisah qorun adalah orang berilmu harusnya sholeh. Qorun merupakan contoh orang berilmu namun karena cinta dunia menguasai jiwanya, ilmu dan kebijakan yang ia miliki dari kitab taurat dilempar jauh-jauh, sehingga perilakunya sangat bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya. Kejahatan orang bodoh tidak lebih berbahaya dibandingkan kejahatan orang berilmu.

 

Para ulama merupakan orang-orang berilmu yang sudah mengetahui tentang mana yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat. Namun, apabila ilmu yang diperolehnya tidak diterapkan dalam kehidupannya akan membahayakan diri dan orang lain.

 

Imam As-Syafi’i menyebutkan dalam syairnya;

 

فساد كبير عالم متهتك #

وأكبر منه جاهل متنسك

 

هما فتنة في العالمين عظيمة #

لمن بهما في دينه يتمسك

 

“Kerusakan besar adalah (dilakukan oleh) ulama yang tidak tahu malu (fasik) # lebih rusak dari itu adalah orang bodoh yang zuhud (ahli ibadah)

 

Dua orang ini menjadi musibah besar di dunia # bagi mereka yang menjadikan panutan keduanya dalam beragama.” (Diwan Al-Imam As-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M], halaman 86)

 

Masyarakat umumnya akan mencontoh ulama yang menjadi imam dan panutannya. Kalau ulamanya yang baik, masyarakat akan beruntung. Tetapi jika ulamanya yang melewati batas dan fasik, masyarakat mendapatkan kerugian yang besar.

 

Alhasil, panutan masyarakat dalam beragama harusnya berilmu dan sholeh. Berilmu saja tidak cukup, apabila tidak sholeh. Demikian juga sholeh saja tidak cukup, apabila tidak berilmu. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *