Oleh: Hayat Abdul Latief
Bertanya bisa menjadi kebaikan, bisa pula menjadi keburukan. Bertanya ada kalanya diperintah dan adakalanya dilarang. Ada peribahasa, “Malu bertanya sesat di jalan. Banyak bertanya malu-maluin.” Mengenai perintah bertanya, Allah SWT berfirman,
وَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ”
“Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Ayat di atas tentang perintah bertanya kepada orang yang tepat, orang yang berilmu. Di akhir zaman banyak orang bertanya kepada yang bukan berilmu, memberi fatwa tanpa ilmu. Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari)
Tentang bertanya kepada orang yang tidak tepat, terdapat hadits: Dari Jabir Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Kami berangkat dalam satu perjalanan lalu seorang dari kami tertimpa batu dan melukai kepalanya. Kemudian orang itu mimpi “basah” lalu ia bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapatkan keringanan bagiku untuk tayammum ?”
Mereka menjawab, “Kami memandang kamu tidak mendapatkan keringanan karena kamu mampu menggunakan air.” Lalu ia mandi kemudian meninggal. Ketika kami sampai dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, peristiwa tersebut diceritakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّهُ أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
“Mereka telah membunuhnya. Semoga Allâh membalas mereka. Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui ? Karena obat dari tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya dia cukup bertayammum.” (HR. Abu Daud)
Berkaitan dengan larangan menanyakan hal-hal yang jika diterangkan akan menyusahkan diri sendiri, Allah SWT berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَسْـَٔلُوا۟ عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْـَٔلُوا۟ عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ ٱلْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا ٱللَّهُ عَنْهَا ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Maidah: 101)
Banyak bertanya termasuk salah satu tiga hal yang dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda,
إن الله يرضى لكم ثلاثا ويكره لكم ثلاثا، فيرضى لكم أن تعبدوه ولاتشركوا به شيئا، وأن تعتصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا ، ويكره لكم قيل وقال ، وكثرة السؤال، وإضاعة المال.
“Sesungguhnya Allah meridhai untuk kalian tiga perkara dan membenci untuk kalian tiga hal. Allah meridhai untuk kalian (1) menyembah kepada-Nya, (2) tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan (3) berpegang teguh pada talinya secara bersama-sama dan tidak berpecah belah. Allah membenci untuk kalian melakukan (1) menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, (2) banyak bertanya, dan (3) menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim)
Contoh buruk tentang pertanyaan yang dilarang adalah yang diperbuat Bani Israil kepada Nabi Musa AS. Orang Bani Israil yang kaya raya tersebut sudah tua renta dan memiliki banyak keponakan. Bukannya mengharap hidupnya yang panjang, keponakan-keponakan ini justru mengharap kematiannya segera mungkin.
Hingga pada suatu saat salah satu keponakan orang kaya tadi membunuhnya dan membuang mayatnya di persimpangan jalan. Sumber lain mengatakan mayat itu dibuang di rumah salah seorang keponakan yang lain. Melihat pamannya mati, keponakan-keponakan itu malah bertikai satu sama lain. Hingga salah seorang dari mereka memberi saran untuk mengadukan perkara ini kepada Nabi Allah SWT, Nabi Musa AS.
Nabi Musa AS berkata kepada mereka, “Atas nama Allah, aku menyumpah seseorang yang mengetahui perihal korban ini, untuk aku tanyai.” Namun, tak seorang pun dari mereka mengaku atau mengetahui. Kemudian Bani Israil itu meminta Nabi Musa AS untuk menanyakan hal ini kepada Allah SWT. Nabi Musa AS pun menuruti permintaan mereka dan bertanya kepada Allah SWT.
Allah SWT kemudian memerintahkan Bani Israil itu untuk menyembelih seekor sapi betina. Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Maksudnya, mereka menanyakan perihal kematian pamannya, namun kenapa malah diperintahkan untuk menyembelih sapi? Nabi Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh,” yaitu beliau berlindung kepada Allah untuk mengatakan selain yang diwahyukan kepadanya.
Bukannya melaksanakan perintah tersebut, mereka malah menanyakan hal-hal yang tidak penting yang memberatkan mereka. Mereka kemudian bertanya seperti apa ciri-ciri sapi betina tersebut, apa warnanya, berapa usianya, hingga sampai tahap di mana sapi betina yang jarang ada disampaikan sebagai jawabannya.
Mereka diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih sapi betina yang berwarna kuning tua sedikit kemerahan, yang menyenangkan bagi orang-orang yang memandang. Jawaban ini pun belum membuat mereka berhenti bertanya.
Mereka bertanya lagi, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu. (Karena) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.”
Nabi Musa AS menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.”
Sapi betina dengan ciri-ciri tersebut sangat sulit untuk dicari bahkan mereka hampir tidak bisa menemukannya. Akhirnya, Bani Israil itu berhasil menemukan sapi betina sesuai dengan apa yang mereka tanyakan milik seseorang yang berbakti kepada ayahnya. Ketika mereka meminta sapi itu, orang itu tidak mau memberikannya.
Mereka ingin membeli sapi itu dengan emas seberat ukurannya, namun si pemilik tetap enggan menyerahkan sapi itu. Mereka melipatgandakan harganya hingga sepuluh kali dan baru pemilik itu mau menyerahkan sapinya. Setelah mendapat sapi yang diperintahkan oleh Allah SWT, Nabi Musa AS menyuruh mereka untuk menyembelihnya dan memukulkan bagian tubuh sapi itu ke jenazah paman Bani Israil yang meninggal tadi.
Saat mereka memukulkan sebagian dari sapi itu kepada korban pembunuhan, Allah SWT menghidupkannya. Ia berdiri dengan urat leher mengucurkan darah. Nabi Musa AS kemudian bertanya kepada paman tersebut, “Siapa yang membunuhmu?”
“Aku dibunuh keponakanku,” jawabnya. Ia lalu mati lagi seperti sedia kala.
Allah SWT berfirman, “Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti,”. Kisah Bani Israil yang banyak bertanya tersebut diabadikan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 67-73. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

