Antara Nafsu Muthmainnah dan Istilah ‘Selesai dengan Dirinya’

Oleh: Hayat Abdul Latief

Allah SWT berfirman;

يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى وَٱدْخُلِى جَنَّتِى

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)

…….

Konsep Nafsu Muthmainnah dalam Islam dan istilah “selesai dengan dirinya” memiliki kesamaan pada inti kedamaian batin, tetapi keduanya memiliki perbedaan konteks dan kedalaman.

Nafsu Muthmainnah

Nafsu muthmainnah merupakan tingkatan jiwa dalam Islam yang tenang, tenteram, dan ridha kepada Allah. Jiwa ini telah mengalahkan godaan hawa nafsu rendah (nafsu ammarah dan lawwamah) sehingga mampu hidup dalam ketaatan dan kedekatan dengan Allah SWT.

Nafsu Muthmainnah menurut Al-Qur’an

Ada tiga tanda jiwa yang tenang menurut ayat di atas yaitu:

a. Selalu kembali kepada Allah SWT dalam keadaan ridha dan diridhai. Firman-Nya;

فَفِرُّوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۖ إِنِّى لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ

“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (Adz-Dzariyat: 50)

b. Bergabung bersama hamba-hamba Allah yang sholeh. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah teman-teman kita yang terbaik?” Baginda Nabi menjawab:

مَنْ ذَكَّرَكُمْ بِاللهِ رُؤْيَتُهُ، وَزَادَكُمْ فِيْ عِلْمِكُمْ مَنْطِقُهُ، وَذَكَّرَكُمْ بِالآخِرَةِ عَمَلُهُ

“Teman yang paling baik adalah teman yang dengan melihatnya, mengingatkan kalian kepada Allah, ucapannya menambahkan ilmu bagi kalian, dan perbuatannya mengingatkan kalian akan akhirat.” (HR. Abu Ya’la dan ‘Abd bin Humaid)

c. Selalu mencari jalan menuju surga-Nya – di antara jalan itu adalah menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

”Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 7028)

Nafsu Muthmainnah menurut Rasulullah SAW

Dari Abu Umamah, dia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ قَالَ لِرَجُلٍ قُلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ نَفْسًا بِكَ مُطْمَئِنَّةً ، تُؤْمِنُ بِلِقَائِكَ ، وَتَرْضَى بِقَضَائِكَ , وَتَقْنَعُ بِعَطَائِكَ

“Sesungguhnya Nabi SAW. berkata (mengajari) seseorang. Katakanlah, ‘Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu’minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna’u bi ’atho-ika [artinya: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu jiwa yang merasa tenang kepadaMu, yang yakin akan bertemu denganMu, yang ridho dengan ketetapanMu, dan yang merasa cukup dengan pemberianMu.”]” (HR. Ath-Thabrani)

Tanda-tanda jiwa yang tenang dalam doa tersebut;

a. Yakin akan bertemu dengan Allah SWT (beriman kepada hari akhirat) – dan itu merupakan tanda orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Allah SWT berfirman,

وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَٰشِعِينَ ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُوا۟ رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”(QS. Al-Baqarah: 45-46)

b. Ridha terhadap ketetapan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai sebuah kaum niscaya Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridha (dengan ketetapan Allah), maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak ridha, maka Allahpun tidak akan ridha kepadanya.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan)

c. Merasa cukup terhadap pemberian rezeki dari-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash)

Istilah ‘Selesai dengan Dirinya’

Istilah ‘selesai dengan dirinya’ biasanya merujuk pada kondisi di mana seseorang telah mencapai pemahaman, penerimaan, atau kedamaian dengan dirinya sendiri. Dalam konteks ini, seseorang tidak lagi terjebak dalam konflik internal, seperti rasa tidak percaya diri, penyesalan masa lalu, atau kebutuhan untuk membuktikan diri kepada orang lain.

Apa itu konflik internal? Konflik internal merupakan pertentangan atau perlawanan dalam diri seseorang yang melibatkan pikiran, emosi, nilai, keinginan, atau tujuan yang saling bertentangan. Contoh, seorang karyawan mengetahui ada korupsi di tempat kerja, tetapi takut melaporkannya karena bisa kehilangan pekerjaan.

Berikut adalah beberapa ciri seseorang yang ‘selesai dengan dirinya’:

a.Penerimaan diri – mampu menerima kelemahan dan kelebihan dirinya tanpa merasa rendah diri atau sombong.

b.Tidak bergantung pada pengakuan eksternal – tidak terlalu peduli dengan penilaian orang lain, karena ia sudah merasa selesai dengan dirinya sendiri.

c.Kedamaian batin – tidak terjebak dalam rasa iri, kebencian, atau dendam yang membara.

d.Tujuan hidup yang jelas – fokus pada tujuan hidup yang bermakna bagi dirinya, bukan hanya mengikuti tren atau ekspektasi orang lain.

e.Kemampuan untuk melepaskan – bisa berdamai dengan masa lalu dan melepaskan apa yang tidak bisa dikontrol.

Konsep ini sering dikaitkan dengan kematangan emosional, spiritualitas, atau bahkan proses pencarian diri dalam agama dan filsafat. Dalam Islam, misalnya, seseorang yang selesai dengan dirinya sering diasosiasikan dengan nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang), yaitu jiwa yang ridha dengan ketentuan Allah dan tidak terganggu oleh godaan dunia.

Kesamaan keduanya:

Satu, berbicara tentang kedamaian batin dan ketenangan jiwa, tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal eksternal seperti tekanan sosial atau materi, dan memiliki kesadaran diri yang tinggi sehingga mampu menjalani hidup dengan lebih ikhlas dan bijaksana.

Dua, nafsu muthmainnah, kondisi jiwa yang tidak hanya “selesai dengan dirinya” tetapi juga telah mencapai kedekatan dengan Allah dan ridha-Nya.

Tiga, “selesai dengan dirinya” merupakan langkah penting menuju nafsu muthmainnah, tetapi belum tentu melibatkan dimensi spiritual yang mendalam.

Jadi, jika dilihat dari konteks agama Islam, seseorang yang telah ‘selesai dengan dirinya sendiri’ bisa menjadi salah satu jalan untuk menuju nafsu muthmainnah, terutama jika ia melibatkan Allah SWT dalam proses pencarian kedamaian tersebut. Wallahu a’lam.

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *