Hukum Berkurban Menurut 4 Madzhab dan Aplikasi Sifat Kedermawanan bagi Orang Yang Mampu
Oleh: Hayat Abdul Latief
Allah SWT berfirman:
لَنۡ يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang mempunyai kelapangan (mampu) tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
……….
Pendapat Empat Mazhab tentang Hukum Berkurban
Satu: Mazhab Hanafi. Hukum: Wajib bagi yang mampu. Dalil: Berdasarkan HR. Ahmad dan Ibnu Majah di atas.
Catatan: Menurut mazhab ini, kurban wajib bagi setiap muslim yang: Baligh, Berakal, Mukim (bukan musafir), Memiliki harta senilai nisab zakat (melebihi kebutuhan pokok dan utang pada hari Idul Adha dan hari-hari tasyriq).
Dua: Mazhab Maliki. Hukum: Sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi yang mampu. Dalil: Mengamalkan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang terus-menerus berkurban setiap tahun, tanpa ada perintah yang mengharuskan. Catatan: Ditekankan untuk kepala keluarga atas nama seluruh anggota keluarganya.
Tiga: Mazhab Syafi’i. Hukum: Sunnah muakkadah, tidak sampai wajib. Dalil: Sama dengan mazhab Maliki, berdasarkan kontinuitas Nabi SAW dalam berkurban tanpa menyatakannya wajib. Catatan: Dianjurkan bagi setiap individu yang mampu, tidak harus kepala keluarga.
Empat: Mazhab Hanbali. Hukum: Sunnah muakkadah, bukan wajib. Dalil: Nabi SAW bersabda:
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ، وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan untuk menyembelih kurban, dan kurban itu sunnah bagi kalian.” (HR. Tirmidzi)
Catatan: Sangat dianjurkan bagi yang mampu, dan lebih utama bila dilakukan oleh kepala keluarga.
Kaya Tapi Miskin, Miskin Tapi Kaya
Dalam kehidupan, sering kita jumpai orang yang secara lahir tampak kaya—memiliki harta berlimpah, kendaraan mewah, dan rumah besar—namun enggan berqurban saat Idul Adha tiba. Sebaliknya, ada pula orang yang hidup pas-pasan, penghasilan seadanya, namun berusaha keras untuk bisa membeli kambing kecil demi menyembelih qurban karena cintanya kepada Allah. Inilah realitas: ada orang kaya yang miskin di hadapan Allah, dan ada miskin yang kaya di sisi-Nya.
QS. Al-Hajj: 37 menegaskan bahwa nilai qurban bukan terletak pada besarnya hewan yang disembelih, melainkan pada ketulusan dan ketaqwaan. Seorang miskin yang mengorbankan sebagian besar rezekinya karena iman dan cinta kepada Allah lebih mulia daripada orang kaya yang enggan mengeluarkan hartanya karena kikir dan lalai dari akhirat.
Rasulullah SAW bersabda:
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ، وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan untuk berqurban, dan qurban itu adalah sunnah bagi kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1507)
Imam Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan:
ليس العبرة بكمية العمل، ولكن العبرة بصدق الإخلاص فيه
“Yang menjadi ukuran bukanlah banyaknya amal, melainkan ketulusan dalam beramal itu sendiri.”
Dalam konteks ini, kekayaan sejati bukan diukur dari kepemilikan dunia, melainkan dari hati yang penuh qana’ah dan tangan yang ringan memberi. Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (merasa cukup).” (HR. al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Syaikh Ibnu Atha’illah berkata:
ليس الفقير من فقد المال، إنما الفقير من فقد القرب
“Bukanlah fakir itu orang yang kehilangan harta, melainkan orang yang kehilangan kedekatan kepada Allah.”
Maka, momen qurban adalah ujian keikhlasan. Ia menjadi cermin: siapa yang benar-benar mencintai Allah, dan siapa yang tertipu oleh dunia. Kaya atau miskin bukan alasan untuk menghindar dari qurban, sebab qurban adalah bahasa cinta. Yang kaya seharusnya malu bila dikalahkan oleh yang miskin dalam berkorban di jalan Allah. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)
