Hukum Suntik Whitening dan Filler dalam Islam
Dalam era modern saat ini, standar kecantikan kerap menjadi tekanan sosial yang kuat, khususnya bagi kaum perempuan. Perawatan estetika seperti suntik whitening (pemutih kulit) dan filler (pengisi wajah) semakin populer untuk mempercantik tampilan fisik secara instan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting dalam perspektif hukum Islam: Apakah tindakan ini dibolehkan dalam syariat?
Menjawab pertanyaan ini memerlukan pendekatan yang mendalam, mencakup dalil Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas, Qawaid Fiqhiyyah, serta Maqashid Syari’ah. Pendapat para ulama mazhab juga menjadi rujukan penting, serta relevansi fenomena ini dengan kehidupan kontemporer dan refleksi dari kisah ulama salaf.
—
2. Dalil dan Pendekatan Syariah
a. Al-Qur’an
Allah berfirman:
> “Dan sungguh akan aku sesatkan mereka, dan akan aku bangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka mengubah ciptaan Allah.”
(QS. An-Nisa: 119)
Ayat ini sering dijadikan dasar bahwa mengubah ciptaan Allah secara permanen tanpa alasan syar’i tergolong maksiat.
b. Hadis
Rasulullah SAW bersabda:
> “Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya, wanita yang mencukur alis dan yang minta dicukurkan, wanita yang menato dan minta ditato, serta wanita yang mengubah ciptaan Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menekankan larangan terhadap perubahan permanen pada tubuh demi kecantikan semata, yang tidak berdasar pada kebutuhan medis atau syar’i.
c. Ijma’ Ulama
Ulama sepakat bahwa perubahan fisik yang bersifat tahsin (memperindah) yang dilakukan tanpa kebutuhan syar’i dan bersifat permanen adalah haram. Namun, jika ada ‘udzur syar’i seperti pengobatan atau koreksi cacat, maka diperbolehkan.
d. Qiyas
Para ulama membandingkan prosedur kosmetik modern dengan praktik jahiliyah yang diharamkan Rasulullah, seperti mencabut gigi agar terlihat cantik. Maka, suntik whitening dan filler dapat diqiyaskan jika tujuannya hanya untuk mempercantik secara artifisial, tanpa kebutuhan medis.
e. Qawaid Fiqhiyyah (Kaidah Fikih)
الضرر يزال – “Bahaya harus dihilangkan.” Jika seseorang mengalami gangguan psikologis berat karena kondisi wajah atau kulit, perawatan bisa dibolehkan.
العادة محكمة – “Adat dapat menjadi hukum.” Dalam budaya tertentu, standar kecantikan bisa mempengaruhi pertimbangan hukum, tetapi tetap harus diukur oleh batas syar’i.
الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يدل دليل على التحريم – “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkan.” Maka, selama tidak ada bahaya atau larangan syar’i, dapat dinilai mubah.
f. Maqashid Syari’ah
Maqashid Syari’ah bertujuan untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tindakan suntik whitening atau filler bisa dibolehkan jika bertujuan menjaga jiwa dari tekanan psikologis berat. Namun, jika hanya untuk pamer dan mengikuti gaya hidup konsumtif, maka hal itu bertentangan dengan maqashid.
—
3. Pendapat Para Ulama Mazhab
Mazhab Hanafi dan Maliki: Umumnya memandang pengubahan bentuk tubuh tanpa alasan syar’i sebagai maksiat.
Mazhab Syafi’i: Mengharamkan perubahan tubuh untuk kecantikan semata, kecuali jika ada cacat atau kebutuhan medis.
Mazhab Hanbali: Sepakat dalam keharaman perubahan tubuh yang bersifat tahsini dan tidak darurat.
Syaikh Yusuf Al-Qaradawi menyatakan bahwa prosedur kecantikan diperbolehkan jika untuk menghilangkan cacat, tetapi dilarang jika bertujuan mengubah ciptaan Allah demi kecantikan buatan semata.
—
4. Kisah Ulama Salaf
Imam Ibn Sirin pernah meriwayatkan bahwa salah satu wanita dari kalangan tabi’in menolak untuk mengubah bentuk hidungnya meski dianggap tidak indah, dengan mengatakan: “Aku ridha dengan ciptaan Allah atas diriku.” Ini mencerminkan sikap tawadhu’ dan qana’ah terhadap ketetapan Allah.
Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sangat keras dalam menjaga keaslian tubuh. Ia menolak tindakan memperindah gigi atau wajah jika bukan karena kebutuhan mendesak.
—
5. Fenomena Kontemporer
Di era media sosial, wajah dan kulit menjadi “modal sosial” yang membuat seseorang mendapatkan pengakuan. Banyak wanita (dan laki-laki) terjebak dalam “body dysmorphic disorder”, yakni ketidakpuasan ekstrem terhadap tubuh. Hal ini mendorong mereka melakukan suntik whitening dan filler demi standar kecantikan semu.
Namun, risiko kesehatan dari bahan kimia dalam prosedur suntik tersebut tidak bisa diabaikan. Banyak kasus kerusakan organ, iritasi, bahkan kanker kulit.
Karena itu, Islam menilai tindakan ini harus dilihat dari:
1. Tujuan – Apakah untuk pengobatan atau hanya memperindah?
2. Efek samping – Apakah membahayakan?
3. Keperluan syar’i – Apakah ada kebutuhan riil?
—
Kesimpulan Hukum
Boleh: Jika dilakukan untuk pengobatan (menghilangkan cacat, luka, trauma, atau tekanan psikologis berat), dengan bahan yang aman dan melalui tenaga medis terpercaya.
Makruh/Terlarang: Jika tujuannya hanya mempercantik, bersifat permanen, membahayakan, atau mendorong kepada kesombongan, pamer, dan mengubah ciptaan Allah tanpa kebutuhan syar’i.