Menjaga Harmoni Sosial di Tahun 2050: Perspektif Fiqih atas Evolusi Hubungan Keluarga, Pendidikan, dan Sosial
oleh : Mahasantri Ma’had Aly Zawiyah Jakarta
Dunia menuju tahun 2050 dengan berbagai perubahan sosial, teknologi, dan budaya yang signifikan. Perkembangan kecerdasan buatan, digitalisasi relasi sosial, dan redefinisi peran institusi seperti keluarga, guru, dan masyarakat menantang prinsip-prinsip relasi yang telah mapan. Dalam konteks ini, fiqih Islam hadir sebagai sistem hukum dan etika yang dinamis, mampu mengarahkan umat Muslim dalam menjaga harmoni sosial dengan tetap berpegang pada nilai-nilai syariah.
—
Harmoni sosial dalam fiqih dapat dipahami sebagai keteraturan hubungan antarindividu dan kelompok masyarakat berdasarkan prinsip ‘adl (keadilan), ukhuwah (persaudaraan), dan maslahah (kemaslahatan umum).
Fiqih (الفقه) sendiri secara bahasa berarti “pemahaman yang mendalam,” sedangkan dalam istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (praktikal), yang diperoleh melalui dalil-dalil terperinci (tafsiliyyah). Maka fiqih sosial adalah cabang ilmu fiqih yang mengatur relasi sosial dan interaksi antarindividu.
—
Dalil-Dalil Syariat Terkait Relasi Sosial
1. Al-Qur’an
QS. Al-Hujurat: 13
> “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…”
→ Menunjukkan pentingnya relasi sosial antarumat manusia yang harmonis dan saling menghargai.
QS. An-Nisa: 36
> “…Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat dan jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…”
→ Menjelaskan cakupan luas relasi sosial dalam Islam.
2. Hadis Nabi SAW
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
→ Mendorong empati dan persaudaraan sosial.
—
Pendapat Ulama Fiqih tentang Relasi Sosial
1. Imam Al-Ghazali
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menekankan bahwa keharmonisan sosial bergantung pada adab interaksi: menjaga lisân (ucapan), niat baik, serta menghormati hak orang lain. Beliau juga memperingatkan bahaya ketergantungan duniawi yang bisa merusak relasi spiritual dan sosial.
2. Imam Al-Mawardi
Dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, Al-Mawardi menekankan peran masyarakat dalam menciptakan tatanan sosial yang stabil melalui peran keluarga, guru, dan masyarakat umum, serta pentingnya keadilan sosial.
3. Ibn Ashur
Tokoh fiqih kontemporer ini menekankan pentingnya maqashid al-shariah (tujuan-tujuan syariah) dalam merespons perubahan sosial. Harmoni dan keutuhan sosial adalah bagian dari hifz al-‘irdh (menjaga kehormatan) dan hifz al-nafs (menjaga jiwa).
—
Perkembangan Relasi Sosial Menuju Tahun 2050
1. Keluarga
Peran keluarga cenderung berubah: dari pusat pendidikan dan nilai menjadi ruang interaksi digital.
Tantangan: individualisme, keluarga virtual, dan pola pengasuhan berbasis teknologi.
Fiqih merespons dengan prinsip tanggung jawab moral, nafkah, dan pengasuhan anak dalam konteks baru, termasuk parenting digital.
2. Pendidikan (Guru dan Murid)
Peran guru bergeser dari penyampai ilmu menjadi fasilitator pembelajaran di era AI.
Relasi menjadi lebih terbuka, lintas negara dan waktu.
Fiqih mendorong adab murid dan guru tetap dijaga meski lewat platform daring, sebagaimana dikatakan dalam Ta’lim al-Muta’allim oleh Az-Zarnuji.
3. Masyarakat dan Teman
Komunitas fisik banyak digantikan komunitas digital.
Tumbuhnya solidaritas global namun juga potensi disinformasi dan konflik digital.
Fiqih menggarisbawahi prinsip tabayyun (klarifikasi), ukhuwah islamiyyah, dan larangan ghibah serta fitnah dalam ruang maya.
—
Hikmah Menjaga Harmoni Sosial dari Perspektif Fiqih
1. Menjaga kestabilan umat dalam menghadapi perubahan zaman.
2. Memperkuat nilai keadilan dan kasih sayang dalam interaksi sosial.
3. Mendorong kesetaraan dan empati dalam masyarakat multikultural global.
4. Menjadi pedoman moral dalam dunia digital yang minim kontrol sosial tradisional.
5. Menyesuaikan syariat dengan perubahan zaman (tathawwur) tanpa mengorbankan nilai dasar Islam.
—
Referensi
1. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Dar al-Fikr.
2. Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
3. Ibn Ashur, Maqashid al-Shariah al-Islamiyyah, Dar al-Nafa’is.
4. Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, Dar al-Kutub.
5. Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dar al-Fikr.
6. Al-Qur’an al-Karim dan terjemahannya.
7. Hadis Shahih Bukhari & Muslim.