Oleh: Hayat Abdul Latief
Wanita dan pria sama, dalam pengertian sama-sama dibebani dengan hukum syariat، sama dalam hal mendapatkan pahala apabila berbuat baik dan siksaan dari Allah apabila melakukan kejahatan, sama dalam hal mendapatkan haknya dan seterusnya. Al-Quran menyebutkan orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa, yang tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, kewarganegaraan, warna kulit, dan lainnya.
Allah SWT berfirman;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Sekali lagi kedudukan perempuan dan laki-laki, dalam Islam, adalah sama. Sama-sama makhluk Allah, sama-sama punya kewajiban menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dan mendapatkan pahala sesuai dengan ujian dan perbuatannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki atau perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka akan masuk kedalam surga dan mereka tidak akan dianiaya walau sedikitpun,” (QS. An-Nisa: 124)
Tentang idealisme laki-laki dan perempuan yang beriman, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;
وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan (berbuat) apa yang benar dan melarang apa yang salah dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan mendapatkan rahmat Allah. Sungguh, Allah Ta’ala Mahaperkasa dan Mahabijaksana,” (QS. At-Taubah: 71)
Dari ayat ini kita mengetahui bahwa, tugas menyerukan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran bukan tugas khusus yang dilakukan hanya kaum laki-laki, melainkan juga merupakan tugas bagi kaum perempuan, tentunya dalam batasan mereka sesama perempuan dan dalam wilayah yang boleh dijamah oleh mereka saja. [Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, professor fakultas syari’ah Universitas Qashim – Saudi Arabia]
Islam Menjunjung Tinggi Derajat Wanita
Sebelum risalah Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam (zaman Pra Islam), kaum perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan warisan, kelahiran perempuan bukan hanya tidak boleh di-aqiqah-kan (pesta kelahiran), namun mereka merasa hina dengan kelahiran anak perempuan dan mahar perempuan diterima oleh walinya, perempuan tersebut tidak berhak menerima maharnya. Setelah risalah Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam, kaum perempuan diperbolehkan mendapatkan warisan, kelahiran perempuan boleh di-aqiqah-kan (pesta kelahiran), dan mahar perempuan diterima oleh perempuan berhak menerima maharnya.
Perbedaan Wanita dan Pria dari Segi Hukum Islam
Dari segi hukum kaum wanita mempunyai perbedaan dengan laki-laki dari beberapa sisi di antaranya adalah:
1. Bahwa kaum wanita dilarang memotong rambut kepalanya berdasarkan larangan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana telah di sebutkan dalam hadits yang di riwayatkan oleh Imam Nasa’i.
2. Bertambahnya tanda baligh pada mereka, di antaranya yaitu dengan keluarnya darah haid dan hamil.
3. Wanita tidak boleh mengumandangkan adzan demikian juga iqomah untuk sholat jama’ah yang akan mereka lakukan di kalangan mereka, karena wanita di larang untuk mengangkat suaranya, karena akan mengundang fitnah.
4. Bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat melainkan wajah dan tangannya, itu di dalam sholat, jika tidak ada lelaki asing di sekitarnya.
5. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara laki dan perempuan ketika ingin membetulkan kesalahan imam sholatnya, beliau bersabda:
التسبيح للرجال والتصفيق للنساء ». (رواه البخاري ومسلم)
“Bertasbih bagi laki-laki sedangkan tepuk tangan bagi perempuan”. HR Bukhari dan Muslim.
6. Wanita tidak diperbolehkan mengangkat tangannya melebihi pundak tatkala melakukan takbir di dalam sholat.
7. Tidak boleh mengeraskan suara di dalam bacaan sholat jahriyah.
8. Tatkala mereka ingin mengingkatkan kesalahan imam di dalam sholat maka dengan bertepuk tangan bukan dengan bertasbih.
9. Mereka tidak layak di jadikan imam bagi laki-laki dan hukumnya tidak sah karena di antara salah satu syaratnya menjadi imam adalah laki-laki.
10. Tidak dianjurkan bagi mereka ikut menghadiri sholat jama’ah bersama laki-laki di masjid karena sholat yang ia kerjakan di dalam rumahnya itu lebih utama dari pada ikut berjama’ah di masjid.
11. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghadiri sholat jum’at.
12. Tidak boleh untuk melakukan perjalanan jauh kecuali apabila di temani oleh suami atau mahramnya, maka atas dasar ini mereka tidak wajib untuk melaksanakan ibadah haji kecuali bila di temani oleh mahramnya, di larang mengeraskan suara ketika bertalbiyah, bolehnya memakai baju berjahit tatkala ihram, tidak melakukan romal, tidak mencukur rambutnya namun yang di wajibkan adalah memendekan, dan melaksanakan thowaf jauh dari ka’bah itu lebih baik bagi dirinya.
13. Tidak ada syari’at berkhutbah bagi mereka secara mutlak baik hari jum’at maupun pada kesempatan yang lainya.
14. Bolehnya memakai sepatu tatkala sedang ihram.
15. Dibolehkan tidak melakukan thowaf perpisahan karena sebab haid namun harus mengakhirkan thowaf haji tatkala haid dengan menunggu sampai dirinya suci.
16. Disunahkan memakai kafan dengan lima lapis, yaitu izaar dan ridaa serta khimar dan dua lapis lainnya.
17. Tidak di syari’atkan bagi mereka mengiringi jenazah bahkan itu termasuk perkara yang di larang.
18. Bahwa syahadat (persaksian) mereka tidak di terima dalam kasus hudud dan qishos.
19. Bolehnya mereka memakai pacar (pemerah kuku) di tangan dan kakinya berbeda dengan laki-laki maka mereka di larang untuk hal itu kecuali kalau memang darurat.
20. Bahwa wanita sama dengan setengah dari lelaki di dalam masalah pembagian warisan, persaksian, diyat, aqiqoh, dan pembebasan budak.
21. Seorang wanita di dahulukan atas kaum pria di dalam hak mengasuh.
22. Bolehnya mendahului laki-laki ketika berangkat dari Muzdalifah menuju Mina pada malam mabit di Muzdalifah, demikian pula dalam sholat, mereka boleh mendahului laki-laki untuk segera pergi tatkala sudah selesai.
23. Mereka berada di shof paling belakang tatkala ikut serta sholat jama’ah bersama laki-laki karena sebaik-baik shof wanita adalah yang paling akhir.
24. Bahwa tatkala berkumpulnya jenazah antara laki dan perempuan maka jenazah wanita di akhirkan dan di jadikan jenazahnya yang paling belakang dan jenazah laki yang paling dekat dengan imam.
25. Haram bagi wanita berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya demikian juga ngobrol bersama mereka.
26. Aqiqah bagi anak laki-laki dua ekor kambing dan bagi anak perempuan satu ekor.
27. Sholat jenazah untuk mayat laki-laki imam berdiri setentang dengan kepala mayat. Sedangkan untuk mayat perempuan imam berdiri di tengah atau setentang perutnya.
28. Air kencing bayi perempuan yang masih menyusu pada ibunya dan belum makan suatu makanan, cara menghilangkannya dengan dicuci. Sedangkan pada bayi laki-laki cukup dipercikkan.
29. Wanita tidak diperbolehkan nikah lagi selagi masih bersuami (poliandri). Sedangkan laki-laki diperbolehkan menikah sampai empat kali jika dapat berlaku adil.
Kekhususan-kekhususan Wanita
Keluar darah haidh, nifas, mengandung, melahirkan dan menyusui merupakan kekhususan-kekhususan wanita. Haidh merupakan darah yang keluar dari rahim seorang perempuan secara alami dan normal tanpa ada peristiwa tertentu yang menyebabkannya. Setiap wanita mengalami haid dengan siklus bulanan. Mengenai haidh, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Wanita muslimah yang sedang haid juga dilarang untuk shalat sebelum melakukan mandi wajib. Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي. رواه البخاري.
“Jika haid datang, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika haid telah selesai, maka basuhlah darah itu dari dirimu (bersucilah) dan laksanakanlah shalat.” (HR. Al-Bukhari, dari Aisyah radhiallahu’anha)
Ketika masa haid, perempuan muslim tidak diperbolehkan (haram) melakukan hal-hal berikut: shalat, thawaf, memegang dan menyentuh mushaf, berdiam diri di masjid, membaca Al-Qur’an, puasa, talak (cerai), berjalan di masjid, dikhawatirkan darah haid akan menetes ke lantai, bersenang-senang diantara pusar dan paha (bersetubuh).
Ketika masa haid telah selesai, dia wajib melakukan mandi besar, tidak perlu meng-qada salat yang ditinggalkan saat datangnya haid. Selain itu juga wajib mengganti puasa di bulan ramadan yang belum dilaksanakan saat datangnya haid. Sedangkan mengganti puasa tersebut di bulan lainnya yang bukan di bulan ramadan. Aisyah berkata,
كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
“Kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR Muslim Nomor 335)
Haid yang dialami oleh perempuan tidak menjadi bentuk diskriminasi oleh Allah terhadap penciptaan laki-laki dan perempuan. Struktur tubuh perempuan diciptakan berbeda dengan struktur tubuh laki-laki, karena perempuan memiliki peran untuk mengandung dan melahirkan anak manusia.
Nifas
Dalam Islam, terdapat perbedaan pendapat tentang masa nifas. Namun, dari beberapa riwayat, batas umum masa nifas maksimal adalah empat puluh hari. Lebih dari itu tidak disebut darah nifas. Hal ini diriwayatkan dari Ummu Salamah,
كانت النفساء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم تقعد بعد نفاسها أربعين يوما رواه أبو داود والترمذي
“Pada masa Rasulullah, para wanita yang sedang menjalani masa nifas menahan diri selama 40 hari atau 40 malam.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Syekh Taqiyuddin Al-Hishni dalam Kitab Kifayatul Akhyar menyebutkan sebagai berikut:
وأقل النفاس لحظة وأكثره ستون يوما وغالبه أربعون يوما
“Masa nifas paling sedikit seperludahan, paling lama 60 hari, dan umumnya masa nifas berlangsung 40 hari,” (Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 62)
Menurut Mazhab Asy-Syafi’i, pendarahan perempuan nifas yang melewati 60 hari tidak dapat dikatakan lagi sebagai darah nifas, tetapi darah jenis lain, yaitu darah istihadhah atau darah haidh.
Nifas itu sendiri merupakan darah yang keluar setelah persalinan. Jika janin yang berada dalam kandungan sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar setelahnya termasuk nifas. Namun, jika janin yang keluar belum berbentuk manusia, maka darah setelahnya tidak dikategorikan sebagai nifas.
Wanita dalam masa nifas dilarang untuk melakukan beberapa hal. Larangan bagi wanita nifas, hampir sama dengan haid, meliputi: Salat, Puasa, Membaca Al-Qur’an, Menyentuh mushaf dan membawanya, Masuk masjid, Thawaf, Bersetubuh, Menikmati bagian tubuh istri antara pusar dan lutut.
Pandangan Islam terhadap Wanita Hamil, Melahirkan dan Menyusui
Islam menegaskan tujuan pernikahan salah satunya adalah untuk berketurunan atau memiliki anak. Namun ada pilihan yang diambil oleh pasangan yang menikah tapi tidak ingin memiliki anak atau yang disebut Child-free. Ini jelas sekali menyalahi tujuan pernikahan itu sendiri. Memiliki seorang anak adalah impian banyak orang, khususnya wanita. Memiliki anak merupakan sebuah proses panjang yang diawali dengan akad pernikahan, kemudian kehamilan lalu melahirkan.
Kehamilan pada wanita juga tidak mungkin terjadi tanpa adanya pembuahan. Pembuahan adalah proses bertemunya sel sperma dari pria dengan sel telur wanita (kecuali yang terjadi kepada Siti Maryam ibunda Nabi Isa yang merupakan satu-satunya wanita, atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, yang hamil tanpa proses hubungan suami-istri). Artinya kehamilan biasanya disebabkan oleh hubungan seksual antara laki-laki dan wanita. Kehamilan juga sangat sulit terjadi bagi wanita atau laki-laki yang mengalami kemandulan (kecuali yang terjadi kepada Sarah istri Nabi Ibrahim dan istri Nabi Zakaria, atas kehendak Allah mereka hamil, meskipun mandul dan lanjut usia).
Allah SWT berfirman;
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Surat Luqman ayat 14: Allah mengabarkan bahwasanya Allah mewajibkan kepada manusia dan mewasiatkan dengan wasiat yang besar yaitu agar berbuat baik kepada kedua orang tua dan berbuat ihsan kepada keduanya. Kemudian Allah menjelaskan akan sebab tersebut, yaitu karena sebab ibnya mengandungnya dalam perutnya, dengan bertambahnya umur kehamilannya, maka bertambah pula keletihannya, lemah dan terus lemah seiring dengan besarnya kehamilannya. Kemudian Allah menjelaskan bahwa penyapihan anak tersebut dari menyusui terjadi dalam dua tahun. Kemudian Allah memerintahkan agar manusia yang telah dilahirkan ini bersyukur dengan menegakkan peribadatan kepada Allah dan menegakkan hak-hak kepada kedua orang tuanya dengan berbuat baik kepada keduanya serta ihsan dengan segala macam bentuknya. Ketahuilah, bahwasanya hanyalah kepada Allah tempat kembali dan Allah akan bertanya akan wasiat ini apa telah dilaksanakan ?! Ataukah diabaikan dan dilalaikan ?! [An-Nafahat Al-Makkiyah / Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi]
Tidak heran ketika Rasulullah wasallam ditanya tentang orang yang paling pantas mendapatkan bakti dari anaknya, yaitu ibu, ibu dan ibu kemudian ayah. Perhatikan hadits berikut,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوْكَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam., lalu ia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” “Lalu siapa lagi?” “Ibumu” “Siapa lagi?” “Ibumu” “Siapa lagi” “Bapakmu.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Pesan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam pada ayat di atas dan juga hadits adalah kewajiban anak untuk berbakti terhadap kedua orang tua, terlebih kepada ibu. Karena pengorbanan seorang ibu tidak bisa digantikan oleh ayah, yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)