
SHOHIBURRATIB TSANI
AL HABIB AHMAD BIN HASAN AL ATTHAS
Disusun oleh Muhammad SFM Al Palimbani
NASAB
Al Habib Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Imam Husein bin Al Quthb Al Kabir Umar bin Abdurahman bin Aqil Al Atths bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Al Quthb Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi bin Al Ustadz Al A’dhom Al Faqih Al Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Alo Kholi’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shohib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al Muhajir ilalloh Ahmad bin Isa bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Imam Jakfar AshShodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zaina Abidin bin Imam As Sibth Al Husein bin Al Imam Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib Suami Az Zahra Fatimah Al Batul binti Rasulullah SAW.
MASA KECIL
Beliau dilahirkan di Huraidhoh, Hadhramaut pada hari Selasa 19 Ramadhan 1257 H.
Ketika masih dalam umur penyusuan, ia terkena penyakit mata yang ganas hingga hilang penglihatannya. Ibu beliau merasa sedih lalu mendatangi Habib Saleh bin Abdullah Al Atthas. Ia meletakan bayi mungil itu di depan Habib Saleh, lalu menangis sekuat – kuatnya
“ Apa yang dapat kami perbuat dengan anak yang buta ini ? “ kata ibunya dengan suara sedih
Habib Saleh menggendong Bayi itu, lalu memandangnya dengan tajam.
“ Ia akan memperoleh kedudukan tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya. Ia akan mencapai maqom kakeknya, Umar bin Abdurrahman Al Atthas” kata Habib Saleh.
Mendengar ini, Ibu beliau pun merasa terhibur
Sejak saat itu, Habib Ahamad memperoleh perhatian khusus dari Habib Saleh. Kadang bila melihat Habib Ahmad berjalan menghampirinya, Habib Saleh Berkata “ Selamat Datang pewaris Sirr Umar bin Abdurrahman Al Atthas.
PENGLIHATAN BATIN
Meski kehilangan kedua penglihatannya, Habib Ahmad bin Hasan tampak seperti orang yang dapat melihat dengan baik. Allah mengganti penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah. Hal ini terbukti dalam beberapa peristiwa, baik ketika beliau masih kecil maupun setelah mencapai usia lanjut. Seakan Alloh SWT ingin menunjukkan kepada orang-orang yang hidup sejamannya makna firman-Nya:
فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
“Karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.”(Q.S. al-Haj, 22:46)
Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yg telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya. Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya. Habib Umar bin Muhammad al-‘Atthos bercerita,
“Ketika masih kecil, aku suka bermain-main dengan Akh Ahmad bin Hasan dan Akh Abdulloh bin Abubakar bin Abdulloh di jalanan kota.
Usia kami sebaya, aku sering mendengar masyarakat memperbincangkan kewalian dan kasyf-kasyf Akh Ahmad bin Hasan, namun aku belum pernah membuktikannya.
Suatu hari aku berkata pada Akh Abdulloh bin Abubakar,
“Mari kita buktikan omongan masyarakat malam ini. Jika ia memang seorang wali, kita akan membenarkannya, tapi jika itu hanya kabar bohong, kita akan membuatnya menderita.”
Kami menggali lubang di dekat tempat kami bermain lalu kami tutup dengan tikar. Setelah tiba saat bermain, aku berkata pada pada Akh Ahmad bin Hasan,
“Malam ini kita adakan lomba lari.”
Kami tempatkan ia di tengah2, tepat ke arah lubang yang baru kami gali. Kami lalu berlari sambil berteriak,
“Ayo lari…lari…!”
Ketika sudah dekat dengan lubang itu, Akh Ahmad melompat seperti seekor kijang.
Mulanya kami kira kejadian ini hanya suatu kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba lagi. Tapi ketika sampai di depan lubang, ia melompat seperti sebelumnya. Saat itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa.
Pernah ada lelaki datang menemui beliau dengan membawa uang 1 dirham yang ia temukan di jalan. Di permukaan dirham itu tertulis sesuatu yang sulit dibaca karena dirham itu sudah terlalu tua.
Beliau meraba dirham tersebut, lalu berkata kepada murid beliau, Syeikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl,
“Coba perhatikan dengan teliti, apa yang tertulis di permukaan dirham ini.”
Ia mencoba membacanya, tapi tidak berhasil. Beliau kemudian berkata,
“Mungkin ini adalah jenis dirham ash-Shomadiah yang dikeluarkan oleh Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi. Pada sisi yang satu tertulis surat al-Ikhlas dan pada sisi lain tertulis: Laa ilaaha ‘illallaah wahdahu laa syariikalahu, lahulmulku wa lahulhamdu wahuwa ‘alaa kulli syay’in qodiir.”
Syeikh Muhammad lalu mencoba melihat mata uang itu dengan lebih teliti, ternyata benar apa yang ducapkan Habib Ahmad bin Hasan. Nama raja Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi tertulis melingkari mata uang tersebut dengan tulisan kufi tanpat titik dan dengan aturan yang aneh
PENDIDIKAN
Sejak berusia lima tahun Al-Habib Ahmad sudah belajar mengaji kepada kakeknya yang lain Al-Habib Abdullah, setelah itu beliau belajar ilmu agama kepada Faraj bin Umar Sabbah, salah seorang murid Al-Habib Hadun bin Ali bin Hasan Al-‘Atthas dan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas yang juga termasyhur sebagai ulama.
Dan ayat pertama yang dihafalkan dari Habib Saleh bin Abdullah Al Atthas Surah Al Haj-(22:32 )
وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Dan barang siapa mengagungkan syiar – syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati
Seperti kebanyakan para ulama asal Timur Tengah, beliau juga memiliki daya ingat luar biasa, beliau mampu menghafal sesuatu dengan sekali dengar. Setiap kali ada ulama datang ke Huraidhah beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka. ”Aku selalu menghormati dan mengagungkan para ulama salaf yang datang ke kotaku, ” katanya.
Semua makhluk memang memiliki mata yang mampu melihat, memandang, mengamati, tapi hanya hamba Allah yang dipersiapkan oleh Allah SWT untuk dekat dengan-Nya yang mendapat anugerah mata hati (bashirah). Cerita Al-Habib Umar bin Muhammad Al-‘Atthas mengenai karamah Al-Habib Ahmad sangat menarik, “ketika masih kecil, aku suka bermain dengan Al-Habib Ahmad dijalanan, usia kami sebaya, ketika itu aku sering mendengar orang-orang memperbincangkan kewalian dan mukasyafah (kata benda untuk kasyaf, kemampuan untuk melihat hal-hal yang tidak kasat mata) Al-Habib Ahmad. Namun aku belum pernah membuktikannya,”katanya.
Suatu hari aku berusaha membuktikan cerita orang-orang itu. Jika ia seorang wali aku akan membenarkannya, tapi jika hanya kabar bohong aku akan membuatnya menderita. Kami menggali lubang lalu kami tutup dengan tikar, setelah tiba saat bermain aku mengajak Al-Habib Ahmad berlomba lari. Ia kami tempatkan di tengah tepat ke arah lubang itu, ajaib ketika sudah dekat dengan lubang itu ia melompat seperti seekor kijang. Awalnya kami kira kejadian itu hanya kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba kembali, tetapi ketika sampai di depan lubang ia melompat kembali ketika itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa,” katanya lagi.
Ketika berusia 17 tahun beliau menunaikan ibadah haji, kedatangannya di Makkah di sambut oleh Al-‘Allamah Mufti Haramain, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang menganjurkannya untuk menuntut ilmu Al-Qur’an kepada seorang ulama besar di Makkah, Syaikh Ali bin Ibrahim As-Samanudi, setelah hafal Al-Qur’an Al-Habib Ahmad mempelajari berbagai gaya qiraat Al-Qur’an.
Ketika membuka talim di Masjidil Haram, Sayyid Zaini Dahlan memberi kesempatan kepada beliau untuk membacakan hafalan Al-Qur’an-nya. Mereka memang sangat akrab, sering bertadarus bersama. Mereka juga sering berziarah ke berbagai tempat bersejarah di Makkah dan Madinah. Pada 1279 H/sekitar 1859 M, ketika usianya 22 tahun beliau pulang dan mengajar serta berdakwah di Hadramaut.
GURU-GURU BELIAU
Guru-guru beliau antara lain adalah Habib Abubakar bin Abdulloh al-‘Atthos, Habib Sholeh bin Abdulloh al-‘Atthos, Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Muhdhor, Habib Ahmad bin Abdulloh bin Idrus al-Bar, Habib Abdurrohman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf, Habib Muhammad bin Ali bin Alwi bin Abdillah Assegaf & Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih. Sedangkan guru-guru beliau di Haramain adalah Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Assegaf, Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Shol Maula Dawileh, dan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan. Adapun Syeikh fath Habib Ahmad bin Hasan al-‘Atthos adalah Habib Sholeh bin Abdulloh al-‘Atthos dan Habib Abubakar bin Abdulloh al-‘Atthos. Habib Sholeh men-tahkiim beliau sebagai seorang sufi dengan mencukur rambut kepala beliau dengan kedua tangannya yang mulia dan memerintahkannya untuk wudhu & mandi. Setelah itu Habib Sholeh mendudukkan beliau di hadapannya lalu men-talqiin kalimat: “Laa ilaa illallah Muhammadun Rasuulullaah” sebanyak 3 kali dan kemudian memberi beliau ijaazah dan ilbaas. Buku-buku yang dibaca Habib Ahmad di hadapan Habib Sholeh antara lain adalah “Idhoohu Asroori Uluumil Muqorrobiin, Ar-Risaalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifaa’ karya Qodhi ‘Iyadh dan Mukhtashor al-Adzkaar karya al-Allamah Syeikh Muhammad bin Umar Bahroq. Semenjak berguru kepada Habib Sholeh, beliau tidak pernah meninggalkan majlisnya, baik saat Habib Sholeh berada di kota ‘Amd maupun di luar kota, hingga Habib Sholeh meninggal dunia pada tahun 1279 H. Semenjak berguru kepada Habib Sholeh, beliau tidak pernah meninggalkan majlisnya, baik saat Habib Sholeh berada di kota ‘Amd maupun di luar kota, hingga Habib Sholeh meninggal dunia pada tahun 1279 H. Cinta beliau kepada Habib Sholeh bin Abdulloh al-‘Atthos telah tampak sejak beliau masih kecil, sebagaimana diceritakan oleh Habib Alwi bin Thohir dalam Uquudul Almaas:
“Jika Habib Sholeh bin Abdulloh al-‘Atthos berkunjung ke Huraidhoh, beliau (Habib Ahmad bin Hasan al-‘Atthos) selalu menemainya. Suatu saat, Habib Sholeh pulang ke kotanya (‘Amd) tanpa sepengetahuan beliau. Ketika mengetahui bahwa Habib Sholeh telah pulang, beliau segera menyusulnya seorang diri tanpa penuntun dan penunjuk jalan. Habib Sholeh merasakan kehadiran beliau, lalu bertanya pada orang-orang yang ikut dalam rombongannya, ‘Apakah kalian melihat seseorang di belakang kita?’. Mereka melihat ke belakang lalu berkata, ‘Kami tidak melihat apa-apa.’. Tak berapa lama, ia mengulang pertanyaannya dan dijawab, ‘Ya, ada seorang anak kecil berusaha menyusul kita.’. Habib Sholeh berkata, ‘Dia adalah Ahmad bin Hasan.’ Ia menanti kedatangan Habib Ahmad bin Hasan, lalu memboncengkannya sampai di desa terdekat. Setelah itu ia memulangkannya.” Habib Abubakar bin Abdulloh al-‘Atthos juga memberikan perhatian kepada beliau sejak kecil. Buku yang telah dibaca Habib Ahmad bin Hasan al-‘Atthos di hadapan Habib Abubakar bin Abdulloh al-‘Atthos antara lain adalah al-Jami’ ash-Shoghir, Riyadhush Shibyan dan Hadiyatush Shiddiq. Habib Ahmad selalu menemani Habib Abubakar, bahkan beliau pernah ikut sampai ke Hijaz. Ketika Habib Abubakar meninggal dunia pada malam Selasa 17 Dzulqoidah 1281 H, beliau sedang berada di Haramain.
Guru – Guru di Hadhramaut
• Habib Abubakar bin Abdullah Al Atthas
• Habib Saleh bin Abdullah Al Atthas
• Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al Muhdor
• Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al Barr
• Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar Assegaf
• Habib Muhammad bin Ali bin Alwi Assegaf
• Habib Muhammad bin Idrus Bilfaqih
Guru – Guru di Haramain
• Habib Muhammad bin Muhammad Assegaf
• Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad Maula Dawileh
• Sayyid Ahmad Zaini Dahlan ( Mufti Haramain)
Berkhalwat di Huraidhah
Guru yang berjasa mendidik beliau antara lain, Al-Habib Abubakar bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al-Muchdlar, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar, Al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf dan Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih. Sementara guru-gurunya dari Makkah dan Madinah adalah Al-Habib Muhammad bin Muhammad Assegaf, Al-Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl Muala Dawilah dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Sedangkan kitab yang beliau pelajari (lewat pendengaran) dengan bimbingan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, antara lain, Idhahu Asrari Ulumil Muqarrabin, Ar-Risalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifa’ karya Qadhi ‘Iyadh, dan Mukhtashar al-Adzkar karya Syaikh Muhammad bin Umar Bahraq. Sejak berguru kepada Al-Habib Sholeh beliau tidak pernah meninggalkan majelis itu, hingga sang guru wafat pada 1279 H/sekitar 1859 M.
Pada tahun 1308 H/kurang lebih 1888 M,ketika berusia 51 tahun beliau berkunjung ke Mesir, di temani oleh empat muridnya : Syaikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl, Abdullah bin Sholeh bin Ali Nahdi, Ubaid Ba Flai’ dan Sayyid Muhammad bin Utsman bin Yahya Ba Alawi. Beliau disambut oleh ulama terkemuka Umar bin Muhammad Ba Junaid. Selama 20 hari di Mesir beliau sempat mengunjungi Syaikhul Islam Muhammad Al-Inbabiy dan bebeapa ulama termasyhur lainnya di kairo.
Beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah SAW, beribadah umrah ke Makkah, lalu menuju Jeddah, Aden, Mukalla, kemudian pulang. Pada 1321 H/sekitar 1901 M, ketika berusia 64 tahun beliau berkunjung ke Tarim dan singgah di Seiwun untuk bertemu dengan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun maulid Simthud Durrar. Ketika itu Al-Habib Ali meminta agar Al-Habib Ahmad memberikan ijazah kepada hadirin.
Banyak murid beliau yang di kemudian hari berdakwah di Indonesia, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang,Jakarta), Al-Habib Syekh bin Salim Al-‘Atthas (Sukabumi, Jawa Barat), Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik, Jawa Timur), Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy (Malang, Jawa Timur) dan lain-lain
Daftar Murid- Murid Habib Ahmad bin Hasan Al Atthas
• Syekh Muhammad bin Awudh Ba Fadl
• Sayyid Muhammad bin Utsman bin Yahya Ba Alawi
• Abdullah bin Sholeh bin Ali Nahdi dan Ubaid Baflai’.
• Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang)
• Habib Syekh bin Salim Al-Aththas ( Sukabumi )
• Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( Gresik )
• Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih ( Malang )
Pada usia 68 tahun sekali lagi beliau menunaikan ibadah haji, sekalian berziarah ke makam Rasulullah SAW. Pulang dari tanah suci beliau lebih banyak berkhalwat di Huraidhah, menghabiskan sisa usia untuk beribadah dan berdakwah. Beliau wafat pada hari senin malam 6 Rajab 1334 H/kurang lebih 1914 M dalam usia 77 tahun
