BIOGRAFI SYEKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN
Penulis :Sakilah Sy

Nama lengkapnya Syekh Abdul Muhyi, dan beliau lebih dikenal dengan sebutan “Pamijahan”. Beliau adalah tokoh penting dalam Tarekat Syathariyah di Jawa dan hidup setelah masa Walisanga. Dalam buku Intelektualisme Pesantren (2003:167), disebutkan bahwa beliau lahir di Mataram, Lombok, sekitar tahun 1650 Masehi atau 1071 Hijriah. Tapi, penyebutan “Lombok” ini dianggap keliru, karena maksud Mataram di sini sebenarnya adalah wilayah Mataram Islam yang dulu mencakup Jawa Tengah sampai ke Sumedang. Nama “Pamijahan” sendiri diduga berasal dari kampung tempat tinggal beliau yang dulu dikenal sebagai Safar Wadi, terletak di wilayah Sukapura (sekarang sekitar Tasikmalaya). Beliau lahir pada masa pemerintahan Raja Mataram Amangkurat I (1646–1677), di masa yang penuh gejolak karena adanya pemberontakan Trunajaya. Syekh Abdul Muhyi wafat tahun 1730 M (1151 H), ketika Mataram dipimpin Pakubuwono II (1726–1742), juga pada masa sulit karena konflik antara Belanda (VOC), istana, dan kelompok pemberontak seperti Mas Garendi atau Sunan Kuning.
Tarekat yang dibawa oleh Syekh Abdul Muhyi banyak diteliti oleh para ahli seperti Tomy Christomy, Oman Fathurahman, dan Didin Nurul Rosidin. Garis tarekat beliau bersambung ke Syekh Abdurra’uf as-Singkili, bukan melalui jalur Walisanga, tetapi langsung ke Syekh Abdullah Syathari, lalu terus sampai ke Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, beliau adalah penyambung tarekat Syathariyah di Jawa dari jalur Sumatra.
Ayah beliau bernama Lebe Warta atau Wartakusumah, keturunan bangsawan dari Kerajaan Galuh-Pajajaran. Ibunya bernama Nyai Syarifah Tanjiah (atau disebut juga Rd. Ajeng Tanganziah). Beliau punya lima saudara, yaitu Nyai Abdul Arip, Kyai Abdul Rosyid, Nyai Kuadrat (atau Nyai Hatib Muwahhid), Kyai Abdul Khalik, dan Kyai Abdul Kahar semuanya anak dari Lebe Warta.

Setelah belajar dari orangtuanya, beliau besar di Ampel yang bisa jadi maksudnya adalah wilayah Tasikmalaya. Saat dewasa, Syekh Abdul Muhyi merantau jauh sampai ke Aceh, Baghdad, dan Mekkah. Di Aceh, beliau mengambil baiat Tarekat Syathariyah langsung dari Syekh Abdurra’uf as-Singkili dan mulai menyebarkannya secara formal. Di Baghdad, beliau berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan kemungkinan juga mengambil Tarekat Qadiriyah, walaupun tidak terlalu disebarkan seperti Syathariyah. Menurut cerita yang beredar, Syekh Abdul Qadir sering datang secara spiritual ke Syekh Abdul Muhyi saat beliau sedang bertirakat, dan bahkan mengajarkan cara lama membaca Al-Qur’an yang dikenal dengan Qa’idah Baghdadiyah. Ini menunjukkan betapa dalamnya hubungan spiritual antara keduanya.
Saat di Mekkah, Syekh Abdul Muhyi belajar pada banyak guru besar seperti Syekh Yusuf al-Makassari dan Syekh Ahmad al-Qusyasyi. Syekh Ahmad sendiri wafat tahun 1661 M, jadi kemungkinan besar Syekh Abdul Muhyi berguru padanya sebelum tahun itu. Beberapa peneliti sebelumnya menyebut masa belajar beliau antara 1669–1675 M, tapi itu perlu diluruskan. Kehidupan Syekh Abdul Muhyi di Jawa bersamaan dengan Syekh Ahmad Mutammakin dari Pati, yang juga dikenal sebagai tokoh tarekat. Mereka sama-sama hidup di masa yang hampir bersamaan, dan sama-sama menguasai lebih dari satu tarekat seperti Syathariyah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.

Setelah kembali dari Mekkah, beliau tinggal dulu di Ampel, lalu berdakwah ke berbagai tempat: Darma Kuningan (1678–1685), lalu ke Pameungpeuk Garut sampai ke Batuwangi (1686–1690), dan akhirnya menetap di Gua Sapar, Sukapura. Di sana, beliau mengajar santri-santri pilihan. Setelah beberapa tahun, beliau pindah ke Kampung Bojong, lalu ke Safar Wadi tempat yang kemudian dikenal sebagai Pamijahan. Di sinilah beliau mengajar dan membentuk kader-kader masyarakat Jawa.

Syekh Abdul Muhyi memiliki empat istri:
1. Nyi Mas Ayu Bakta, darinya lahir Syekh Muhyiddin, Syekh Abdullah, Syekh Faqih Ibrahim, dan Media Kusuma.
2. Istri kedua (namanya tidak disebut), darinya lahir Syekh Nadzar, Syekh Atam, Raden Usim, Raden Aruna, dan Raden Haisah.
3. Nyi Mas Ayu Salamah, darinya lahir Kiai Bagus Muhammad, Ratu Siti, dan Ratu Ajeng.
4. Nyi Mas Ayu Winangun, darinya lahir Ratu Candra, Ratu Jabaniyyah, Ratu Aeng Nidor, Raden Bagus Atim, dan Raden Ali Akbar.

Tarekat Syathariyah yang beliau ajarkan diteruskan oleh anak dan murid-muridnya. Menurut Tomy Christomy, ada tiga murid utama: Dalem Mas Bojong, Syekh Abdullah, dan Syekh Faqih Ibrahim (juga dikenal sebagai Sunan Cipager, menantu Arya Kikis, penguasa Talaga-Majalengka). Syekh Faqih Ibrahim sempat mengajar di lingkungan Keraton Kartasura dan punya murid bernama Syekh Abdurrahman Kartasura. Murid-murid Syekh Abdul Muhyi menyebarkan tarekat ini ke berbagai wilayah Jawa, terutama di bagian barat seperti Banten, Batavia, Cirebon, dan bagian tengah seperti Batang, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Magetan. Jadi, sangat mungkin bahwa kraton Yogyakarta dan Surakarta juga punya hubungan dengan tarekat ini.
Setelah beliau, generasi berikutnya yang meneruskan tarekat ini di Jawa antara lain adalah Syekh Asy’ari dari Kaliwungu. Beliau punya sanad sendiri dari Syekh Muhammad As’ad dan Syekh Thahir al-Madani, yang juga bersambung ke Syekh Abdullah Syathari.

Dalam ajaran tarekatnya, Syekh Abdul Muhyi juga mengajarkan konsep spiritual yang disebut martabat tujuh (tujuh tingkatan ruhani), yang aslinya berasal dari ajaran Syekh Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India. Konsep ini mengajarkan cara mengenal diri dan Allah melalui tujuh lapisan kesadaran: jasmani, bayangan, ruh, keesaan, wahdah, ahadiyah, dan insan kamil (manusia sempurna).
Melalui penghayatan terhadap martabat ini, murid-murid diajak untuk semakin sadar bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah, dan pada akhirnya akan sampai pada kesatuan kehendak dengan Allah — bukan hanya mengikuti syariat Nabi Muhammad secara lahiriah, tapi juga secara batin. Kesadaran spiritual ini bertujuan untuk memperkuat iman dan memperdalam pengalaman ruhani dalam hidup sehari-hari.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *