Mengapa Perbandingan Mazhab Penting dalam Studi Islam Kontemporer?

Mengapa Perbandingan Mazhab Penting dalam Studi Islam Kontemporer?
disusun oleh: Badrah Uyuni

Islam adalah agama yang kaya dengan tradisi intelektual. Sejak awal perkembangannya, para ulama telah mengembangkan metodologi ijtihad dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Hasil dari proses ijtihad itu kemudian membentuk berbagai mazhab fiqh yang kita kenal hingga hari ini: Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbali, serta beberapa mazhab lain seperti Ja‘fari dan Dzahiri.

Bagi sebagian orang awam, perbedaan mazhab sering dipandang sebagai sesuatu yang membingungkan bahkan memecah-belah. Padahal, jika ditelaah secara akademik, perbedaan itu justru merupakan kekayaan intelektual Islam yang sangat berharga. Di sinilah urgensi mata kuliah dan kajian Perbandingan Mazhab—agar generasi Muslim memahami, menghargai, dan mampu mengambil manfaat dari keragaman metodologi hukum Islam.

Islam Kaya dengan Tradisi Ijtihad

Ijtihad adalah upaya intelektual seorang mujtahid dalam menggali hukum syar‘i dari sumber-sumber utama. Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber primer, namun dalam aplikasinya, para ulama sering berhadapan dengan persoalan baru yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash. Dari sinilah muncul beragam metodologi istinbat.

Mazhab Hanafi (Abu Hanifah, 699–767 M) terkenal rasional, menggunakan qiyas dan istihsan secara luas.

Mazhab Maliki (Malik bin Anas, 711–795 M) mengutamakan amal ahl al-Madinah sebagai representasi tradisi Nabi di Madinah.

Mazhab Syafi‘i (Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i, 767–820 M) menyusun metodologi ushul fiqh secara sistematis dalam al-Risalah.

Mazhab Hanbali (Ahmad bin Hanbal, 780–855 M) lebih tekstualis, menekankan riwayat hadits dan atsar sahabat.

Perbedaan pendekatan inilah yang melahirkan keragaman pendapat, namun semuanya berakar pada komitmen yang sama: mencari ridha Allah melalui hukum yang adil dan maslahat.

Perbedaan = Kekayaan, Bukan Perpecahan

Sejarah Islam menunjukkan bahwa perbedaan mazhab tidak pernah dianggap sebagai dosa. Imam Nawawi (w. 1277 M) dalam al-Majmu‘ menegaskan bahwa khilaf fiqhiyah adalah bagian dari rahmat. Bahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 720 M) pernah berkata: “Aku tidak suka jika para sahabat Nabi tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka sepakat, umat akan menghadapi kesempitan.”

Artinya, perbedaan memberikan ruang fleksibilitas dalam menghadapi situasi dan kondisi sosial yang beragam. Apa yang lebih sesuai di Kufah mungkin berbeda dengan di Madinah, dan itu diakomodasi melalui ijtihad ulama.

Membentuk Sikap Toleran dan Inklusif

Belajar perbandingan mazhab membantu mahasiswa dan umat Islam untuk bersikap lebih toleran. Kesadaran bahwa “ada dalil dan metodologi” di balik setiap perbedaan, akan menghindarkan kita dari sikap fanatisme sempit (ta‘assub).

Dalam konteks Indonesia yang plural, perbandingan mazhab sangat relevan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati. Misalnya, perbedaan tata cara wudhu, qunut, atau posisi tangan dalam shalat bukan alasan untuk saling menyesatkan, melainkan ruang dialog keilmuan.

Relevansi dalam Menjawab Persoalan Kontemporer

Mazhab klasik memang lahir dalam konteks abad pertengahan, tetapi metodologi mereka tetap hidup untuk menghadapi persoalan modern. Contohnya:

Ekonomi digital: transaksi online, e-money, dan fintech bisa dianalisis dengan pendekatan qiyas dan maslahah mursalah.

Bioetika: masalah transplantasi organ, rekayasa genetika, dan teknologi reproduksi bisa dibahas melalui maqasid syariah.

Lingkungan hidup: hukum pencemaran dan tanggung jawab sosial bisa dirujuk pada prinsip la darar wa la dirar (tidak boleh membahayakan diri dan orang lain).

Dengan perbandingan mazhab, kita tidak hanya melihat satu perspektif, melainkan dapat mengombinasikan kekuatan berbagai metodologi untuk menghasilkan solusi hukum yang kontekstual dan aplikatif.

Perbedaan mazhab adalah kekayaan intelektual Islam yang harus dipelajari dengan semangat ilmiah, bukan dengan fanatisme. Melalui kajian perbandingan mazhab, umat Islam akan terbiasa berpikir kritis, toleran, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Bagi mahasiswa, mempelajari perbandingan mazhab bukan hanya soal memahami sejarah dan metodologi hukum Islam, tetapi juga membangun karakter: rendah hati dalam perbedaan, bijak dalam perdebatan, dan solutif dalam menghadapi persoalan sosial.

Referensi

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1954.

al-Syafi‘i, Muhammad bin Idris. al-Risalah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979.

Hallaq, Wael B. The Origins and Evolution of Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

Kamali, Mohammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society, 2003.

Nawawi, al-. al-Majmu‘ Sharh al-Muhadhdhab. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1979.

#zawiyahjakarta
#perbandinganmazhab

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *