
Oleh: Hayat Abdul Latief
Sebagaimana orang kafir bangga dan bergembira dengan kebatilan, seorang mu’min harus bergembira dengan karunia dan rahmat Allah subhanahu wata’ala. Firman-Nya:
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)
Yang dimaksud karunia dalam ayat tersebut, menurut Syaikh Abdurrahman As-Sa’di adalah Al Qur’an, sedangkan rahmat maksudnya adalah agama dan keimanan, serta beribadah kepada Allah, mencintai-Nya dan mengenali-Nya. Karunia dan rahmat Allah lebih baik dari pada apa yang dikumpulkan manusia berupa perhiasan dunia dan kesenangannya.
Berdasarkan ayat ini, maka nikmat Islam dan Al Qur’an merupakan nikmat paling besar. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan bergembira dengan karunia dan rahmat-Nya karena yang demikian dapat melegakan jiwa, menyemangatkannya dan membantu untuk bersyukur, serta membuat senang dengan ilmu dan keimanan yang mendorong seseorang untuk terus menambahnya. Hal ini adalah gembira yang terpuji, berbeda dengan bergembira dengan syahwat dunia dan kesenangannya atau bergembira dengan kebatilan, maka yang demikian merupakan gembira yang tercela.
Sama halnya, ketika kita bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, merupakan kegembiraan yang terpuji. Al-Qur’an cukup menjadi acuan kita dalam bergembira menyambut kedatangan tamu yang bernama Ramadhan, tanpa harus mengambil hadits palsu untuk memotivasi dan mentarghib kaum muslimin denganya.
Bolehkah dalam targhib dan tarhib menggunakan hadits maudhu’?
Sudah Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan hadits dhaif boleh digunakan untuk Fadhilah Amal. Namun menggunakan hadits maudlu’ tetap terlarang, karena berdusta mengatasnamakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Berkenaan dengan menyambut Ramadhan sangat disayangkan hadis di bawah ini banyak disampaikan padahal hadits ini adalah (لا أصل له) tidak ada asalnya.
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النيْراَنِ
“Barangsiapa senang dengan masuknya (datangnya) bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya bagi neraka.”
Hadits di atas hanya terdapat dalam kitab Durratun Nashihin itupun tidak disertai sanad hanya menyandarkan riwayat tersebut pada Rasulullah.
Salah satu ciri kepalsuan suatu hadits adalah menyebutkan pahala yang sangat besar atau berlebihan hanya untuk suatu perbuatan yang kecil atau sepele. (M. ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Dar al-Fikr: Beirut, Tt, hlm. 436)
Alhasil, hadits ini termasuk hadits palsu karena tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits induk dan adanya imbalan pahala yang luar biasa (diharamkan dari api neraka) untuk amalan yang sangat ringan (hanya senang dengan datangnya Ramadhan).
*Pelajaran:*
*Satu,* kita wajib bergembira dengan karunia dan rahmat Allah subhanahu wata’ala.
*Dua,* di antara karunia dan rahmat Allah adalah Islam dan Al-Qur’an.
*Tiga,* bulan romadhon yang didalamnya turun Alquran juga termasuk karunia dan rahmat Allah untuk umat ini.
*Empat,* dalam targhib dan tarhib boleh menggunakan hadits dhaif dalam urusan Fadhilah Amal alias tidak masalah.
*Lima,* meskipun dalam targhib dan tarhib atau urusan Fadhilah Amal sangat terlarang menggunakan hadits palsu yang tidak ada asalnya, karena termasuk perbuatan dusta mengatasnamakan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.
*(Penulis adalah Direktur Korp Da’i An-Nashihah dan Mahasiswa S2 Zawiyah Jakarta)*
