Oleh: Hayat Abdul Latief
Sebelum tinggal di kabupaten Bekasi Saya tinggal di kota Bekasi selama 17 tahun. Di sanalah saya mengenal dan mengikuti kajian kyai Haji jamalullail LC, seorang ulama muda yang kajiannya banyak dihadiri oleh ulama kyai dan kaum muda, baik di Islamic center ataupun Masjid Agung al-barkah Kota Bekasi. Semoga beliau mengakui saya sebagai muridnya dunia dan akhirat.
Disamping mengkaji Buchori dan Muslim baik dari sisi matan maupun sisi sanadnya yang beliau mengatakan bahwa beliau menghafal saya Bukhari dan Muslim 100%, beliau juga menekankan pentingnya pemahaman yang komprehensif dan yang menyeluruh, tidak parsial dan bisa dipertanggungjawabkan sebagai amanah keilmuan.
Dalam mengkaji Al-Qur’an dan hadis seorang pelajar selain menguasai Arabic Gramatikal, juga dibutuhkan mengetahui asbabun nuzul-asbabul wurud, nasikh-mansukh, mutlaq-muqayyad, ‘amm- khosh dan seterusnya, sebagai perangkat ilmu yang bisa yang tidak bisa dipisahkan dan antara satu dan lainnya agar paripurna dalam memahami teks agama.
Tafsir yang dikaji selain tafsir-tafsir klasik juga tafsir-tafsir modern yang lurus dan bisa dijadikan sebagai pedoman. Karena dengan membandingkan satu tafsir dengan tafsir yang lain akan membuka cakrawala berpikir yang luas yang tidak terkooptasi oleh satu bacaan. Kalau digabungkan antara komentar para mufassir maka seorang pembaca akan memperoleh faedah yang banyak yang saling menguatkan.
Mengapa harus memiliki pemahaman yang komprehensif? Karena umat Islam sudah di dibombardir dari segala arah dan penjuru. Bukan hanya kerusakan dalam ilmu pengetahuan namun juga kerusakan dalam bidang aqidah dan orientasi kehidupan.
Dalam bidang tafsir Al-Qur’an dibedah melalui hermeneutika sebuah kajian yang berasal dari kebudayaan Yunani yang mengatakan bahwa wa harus ada perantara antara teks suci dengan pemahaman manusia, maka diutuslah seorang dewa Hermes yang menjadi perantara antara keduanya. Mengapa kita menolak hermeneutika? Yang pertama, hermeneutika terlahir dari budaya paganisme dan yang kedua hermeneutika mengatakan bahwa teks-teks agama adalah produk budaya dan yang ketiga hermeneutika menganggap kebenaran adalah nisbi bukan mutlak.
Richard E. Palmer membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni (1) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Dari keenam kategori tersebut tidak ada satu kategori pun yang cocok – bahwa hermeneutika pantas untuk membedah interpretasi dari Al-Qur’an yang merupakan firman suci Allah subhanahu wa ta’ala. Yang pantas menafsirkan Alquran adalah Rasulullah para sahabat kemudian ulama mufassirin yang merujuk kepada pendapat-pendapat ulama klasik yang keabsahannya bisa dipertanggungjawabkan.
Sangatlah keliru kalau mengupas tafsir Alquran melalui hermeneutika karena hermeneutika memiliki pendapat relativisme artinya kebenaran adalah relatif dari siapa yang berpendapat. Sedangkan dalam Al-Qur’an disebutkan:
ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Dalam bidang fiqih kita tidak boleh fanatisme mazhab karena ada banyak madzhab dalam Islam. Dalam tubuh ahlussunnah Wal jamaah kita boleh berbeda fiqih tapi ukhuwah islamiyah harus tetap terjaga. Orang yang bijak selain menguasai fiqih madzhabnya juga tidak menyalahkan membid’ahkan dan mengkafirkan afiliasi fiqih di luar madzhabnya.
Dalam bidang politik umat Islam dunia saat ini tidak memiliki pemimpin yang didengar suaranya dan tidak memiliki instruksi satu komando, yang pada akhirnya umat Islam laksana makanan bacakan yang diperebutkan oleh negara adidaya dan pemilik modal dan kepentingan dalam politik dalam negeri di negara-negara kaum muslimin. Pada akhirnya ada juga ulama yang menjadi penjilat, yang fatwa dan ijtihadnya bukan menguntungkan kaum muslimin, bukan untuk izzul Islam Wal Muslimin tetapi menyenangkan para cukong, munafikin dan kafirin.
Dalam bidang ghazwul fikri, lahir pula dari kalangan kaum muda muslim yang berpandangan pluralisme liberalisme dan isme-isme lain yang diadopsi dari orientalis yang meragukan otoritas Al-Qur’an dan Sunnah. Yang bahkan mereka berani membuka wacana untuk mengamandemen keduanya. Padahal mengamandemen keduanya sama saja membongkar bangunan Islam dan memporak-porandakan sendi-sendi sumber agama yang menjadi pijakan kaum muslimin.
Umat Islam sudah babak belur dalam berbagai bidang, maka diperlukan ulama Dan ilmuwan muslim yang berwawasan luas, yang punya pemahaman yang komprehensif dan yang mencerdaskan kepada umat juga berpihak kepada kaum muslimin bukan malah sebaliknya menyakiti kaum muslimin dengan wacana filsafat yang nyeleneh, liberal dan pluralisme yang pada akhirnya membuat pihak kafirin dan munafikin merasa dibela. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.
*(Penulis adalah Direktur Korp Da’i An-Nashihah dan Mahasiswa S2 Zawiyah Jakarta)*