Oleh: Hayat Abdul Latief
zawiyahjakarta.or.id – Kita awali dengan menyimak surat An-Nashr:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 1-3)
Terkait juga dengan asbabun nuzul surat An Nasr, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khattab menyertakan beliau dalam majelis para pahlawan perang Badar. Sebagian pahlawan Badar keberatan Ibnu Abbas dimasukkan dalam majlis itu.
Lalu Umar pun menguji mereka semua. “Apa pendapat kalian mengenai firman Allah idzaa jaa’a nashrullahi wal fath dalam surat An Nashr?”
“Allah memerintahkan kita untuk bertahmid dan beristighfar kepada-Nya jika Dia menolong dan memberi kemenangan,” jawab salah seorang dari mereka. Yang lain diam, tidak ada jawaban berbeda.
“Apakah demikian pendapatmu wahai Ibnu Abbas?”
“Tidak wahai Amirul Mukminin. Idza ja’a nashrullahi wal fath merupakan isyarat ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah beritahukan kepada beliau. Datangnya kemenangan dan fathu Makkah merupakan tanda ajal beliau.”
“Aku tidak mengetahui tafsir surat An Nasr ini melainkan apa yang kamu katakan,” pungkas Umar.
Fathu Makkah merupakan peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Ramadan 8 H, di mana Nabi Muhammad SAW beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun, sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Ka’bah.
Baca juga : perang badar kubra pertaruhan antara nyawa cinta dan agama di bulan ramadhan
Sebelumnya pihak Quraisy dan Muslim dari Madinah menandatangani Perjanjian Hudaybiyah. Meskipun hubungan yang lebih baik terjadi antara Mekkah dan Madinah setelah penandatanganan Perjanjian Hudaybiyah, 10 tahun gencatan senjata dirusak oleh Quraisy, dengan sekutunya Bani Bakr, menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu Muslim, walaupun sebenarnya yang pertama kali menyerang Bani Bakr adalah Bani Khuza’ah, dan sayang sekali permasalahan tersebut hanya diselesaikan dengan perjanjian elite yang tidak melibatkan akar rumput, sehingga masih menimbulkan dendam dikalangan Bani Bakr.
Pada saat itu musyrikin Quraisy ikut membantu Bani Bakr, padahal bersadasarkan kesepakatan damai dalam perjanjian tersebut di mana Bani Khuza’ah telah bergabung ikut dengan Nabi Muhammad saw dan sejumlah dari mereka telah memeluk islam, sedangkan Bani Bakr bergabung dengan musyrikin Quraisy.
Abu Sufyan, kepala suku Quraisy di Mekkah, pergi ke Madinah untuk memperbaiki perjanjian yang telah dirusak itu, tetapi nabi Muhammad SAW saw menolak, Abu Sufyan pun pulang dengan tangan kosong.
Sekitar 10.000 orang pasukan Muslim pergi ke Mekkah sebuah konvoi pasukan dengan penuh damai. Nabi Muhammad saw bermurah hati kepada pihak Mekkah, dan memerintahkan untuk menghancurkan berhala di sekitar dan di dalam Ka’bah. Selain itu hukuman mati juga ditetapkan atas 17 orang Mekkah atas kejahatan mereka terhadap orang Muslim, meskipun pada akhirnya beberapa di antaranya diampuni.
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Setelah itu, Nabi pun menyuruh Bilal bin Rabah, seorang bekas budak yang pernah dihinakan kaum Quraisy karena keislamannya untuk mengumandangkan azan. Semua tertunduk khusyuk mendengarkannya penuh makna.
Pengampunan umum diberikan kepada penduduk Makkah.
Amnesti dikeluarkan dengan melepas kenangan betapa hebat siksaan yang diterima Rasulullah dan para sahabat pada awal masa kerasulan. Kenangan pahit saat Nabi yang mulia dikejar-kejar kaum quraisy hingga harus bersembunyi di Gua Tsur, intimidasi kepada para sahabat hingga menyebabkan mereka tewas hingga blokade ekonomi yang dilakukan kepada kaum Muslimin. Semua peristiwa itu seakan dilupakan Muhammad dan para pengikutnya ketika Fathu Makkah tiba.
Fiqhu siroh:
Satu, sejarah mencatat bahwa ada satu penaklukan dalam sejarah umat manusia yang tanpa darah dan penuh kasih sayang ya itu fathu Makkah.
Dua, dalam kondisi kuat biasanya manusia menindas dan berbuat sewenang-wenang dan itu tidak terjadi adab pribadi Rasulullah. Beliau berkuasa tetapi penuh dengan maaf dan menyambung persaudaraan.
Tiga, dengan sifat memaafkannya itu banyak sekali musuh-musuh Islam pada akhirnya lunak hati dan berbalik mencintai.
Empat, menang tanpa merendahkan artinya dalam menaklukkan suatu negeri tidak harus sewenang-wenang dan menghilangkan perikemanusiaan sesuai itulah menimbulkan dendam baru terhadap generasi selanjutnya. Yang dibangun oleh Rasulullah adalah peradaban manusia yang dipenuhi dengan nilai ilahiyah dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Lima, Rasulullah sudah meletakkan dasar-dasar hukum yang berkeadilan untuk semua bangsa semua pemeluk agama sebelum PBB menerapkan undang-undang internasional yang meskipun pada akhirnya tetap terjadi ketimpangan dan tidak keadilan sosial bagi bangsa-bangsa di dunia. Wallahu a’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.
(Penulis adalah Direktur Korp Da’i An-Nashihah dan Mahasiswa S2 Zawiyah Jakarta)