Oleh: Hayat Abdul Latief
Revolusi merupakan perubahan atau tepatnya membalikkan keadaan dalam tempo yang cepat. Ada revolusi sosial, industri, ekonomi, bahkan revolusi spiritual.
Dalam waktu 23 tahun, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berhasil merubah tatanan akidah, ibadah, akhlak dan hidup masyarakat secara umum. Gelapnya fase jahiliyah disingkat dengan cahaya langit yang terang-benderang.
Sebuah revolusi senyap yang membangkitkan alam bawah sadar, bahwa cahayanya tidak bisa disadap, apabila dipadamkan. Sebuah revolusi yang mengangkat harkat dan martabat. Sebuah revolusi yang merubah tatanan hidup bernilai duniawi dan ukhrawi sekaligus. Itulah revolusi sejati.
Setiap yang sejati, di sana ada pula yang palsu. Revolusi yang melulu duniawi, revolusi yang hanya pembangunan fisik dan infrastruktur, revolusi yang mengalihkan kepada pandangan hidup jauh dari Nilai-nilai ilahiah, semua itu revolusi yang mendegradasi nilai manusia dan kemanusiaan.
Kita tidak boleh keliru dalam memahami term yang ambigu dan rancu antara revolusi mental atau penjara mental dan kita harus benar-benar bisa memilah dan mendiagnosanya, bisa membedakan mana kuning emas atau kuning sepuhan yang disangka seolah-olah emas.
Atau sebenarnya kita mengalami penjara mental yang tanpa kita sadari membelenggu dan memborgol gerak dan pikir kita. Laksana kerbau yang berbadan besar yang diangon oleh anak kecil;: kerbau itu meyakini bahwa ia harus mengikuti sistem cocok hidung yang mengharuskan manut, seolah-olah itu tidak mungkin bisa dirubah selama-lamanya.
Pemimpin yang tidak bisa mengurusi rakyat dan tidak pro rakyat (ruwaibidhah) yang merupakan tanda akhir zaman adalah menjadi penjara mental yang mana kita tidak boleh menjadi imma’ah atau yesman alias ABS (asal bos senang). Kalau tidak, kita akan menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
*(Penulis adalah Khadim Korp Da’i An-Nashihah dan Mahasiswa S2 Zawiyah Jakarta)*

