Oleh Badrah Uyuni

Makna Ulama

Ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti atau orang yang berilmu. kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim.

Kata tersebut tercantum dalam surat Fatir ayat 27-28 :
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۚ فَاَخْرَجْنَا بِهٖ ثَمَرٰتٍ مُّخْتَلِفًا اَلْوَانُهَا ۗوَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ ۢبِيْضٌ وَّحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهَا وَغَرَابِيْبُ سُوْدٌ وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan, di antara gunug-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya da nada (pula) yang hitam pekat. Dan, demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya, Allah Mahaperkasa lagi Mahapengampun.”

Ulama dalam konteks ayat tersebut adalah orang yang memahami dan mendalami tentang hukum-hukum kehidupan di alam semesta.

Dalam Alquran, ada banyak kata lain yang semakna atau memiliki konotasi yang sama dengan ulama, antara lain ulul ‘ilmi (yang mempunyai ilmu), ulil abshar (yang mempunyai pengetahun), ulin nuha (yang mempunyai akal sehat), ulul albab (yang mempunyai hati atau pengetahuan inti/substantif, dan ahludz dzikr (yang selalu menyebut dan mengingat Tuhan). Semua kata yang disebutkan tadi, sering diterjamahkan atau diidentikkan dengan ilmuwan, cendekiawan, intelektual, sarjana, saintis, dan lain-lain.

Selain dalam Alquran kata ulama juga terdapat dalam hadits Rasulullah dalam kalimat: العلماء ورثة الانبياء al-‘ulama waratsatul anbiya (ulama itu pewaris para nabi). Ada banyak predikat yang disandang oleh ulama, yaitu siraj al-ummah (lampu umat), manar al-bilad (menara/mercusuar negara), qiwan al-ummah (pilar umat), manabi’al-hikam (sumber-sumber kebijaksanaan).

Kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Dan jika seseorang ahli dalam ilmu umum, dinamakan cendekiawan. Tapi semuanya itu bisa dikategorikan ulama.

Kita saat ini melihat banyak sekali orang disebut ulama hanya berdasarkan bahwa seseorang bisa tabligh atau ceramah. Sedangkan jika kita menilik makna ulama yang sebenarnya seperti apa yang diutarakan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa orang yang dikatakan ‘alim adalah orang yang mengamalkan ilmunya. Jika dia tidak mengamalkan ilmunya berarti bukan ulama.

Ulama dalam terminologi Islam bukanlah sekadar orang yang berilmu, melainkan sebagai orang yang takut kepada Allah.

Al-ulama waratsatul anbiya, ulama juga merupakan pewaris para nabi. Ini berarti, ulama dalam terminologi Islam adalah orang-orang yang berilmu dan ilmunya membentuk karakter takut kepada Allah dan mewarisi ciri-ciri utama para nabi. Ciri-ciri utama para nabi itu adalah menegakkan keyakinan tentang keesaan sang Pencipta, mengamalkan perintah-perintah Allah, membimbing masyarakat, serta membantu menyelesaikan masalah-masalah mereka sesuai dengan ajaran Tuhan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin mengatakan, “Tradisi ulama adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah… kerusakan masyarakat adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu akibat kerusakan ulama.”

Al-Ghazali bahkan membagi ulama dalam dua kategori, yakni ulama akhirat dan ulama dunia (ulama su’).  Salah satu tanda ulama dunia  adalah mendekati penguasa. Dan seseeorang yang hanya menguasai ilmu tanpa dilandasi niatan mendedikasikan ilmunya untuk Allah, maka dia bukanlah seorang ‘ulama sejati’.

Dalil-dalil Seputar Ulama

Para ulama memiliki kedudukan yang mulia dan agung di sisi Allah. Allah telah meninggikan derajat mereka dan mengistimewakan mereka dari yang lainnya. Allah SWT berfirman

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. [ QS al-Mujadilah : 11 ].

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ  وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ()

Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 22)

قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْعِلْمِ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ وَقَبْضُهُ أَنْ يُرْفَعَ وَجَمَعَ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ هَكَذَا ثُمَّ قَالَ الْعَالِمُ وَالْمُتَعَلِّمُ شَرِيكَانِ فِي الْأَجْرِ وَلَا خَيْرَ فِي سَائِرِ النَّاسِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan ilmu ini sebelum dicabut, dan dicabutnya adalah dengan diangkat -beliau menggabungkan antara dua jarinya; jari tengah dan telunjuk seperti ini- kemudian bersabda: “Seorang alim dan penuntut ilmu bersekutu dalam pahala, dan tidak ada kebaikan pada mayoritas manusia.”

Kriteria utama ulama

Pertama, ulama harus tafaqquhu fiddin, yakni memahami ilmu agama secara mendalam. Posisi ulama selalu menjadi rujukan masyarakat untuk bertanya berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Ulama adalah sosok yang dekat dengan masyarakat. Ulama adalah orang-orang yang bisa dipercaya oleh masyarakat.

Kedua, ulama adalah sosok yang memahami perkembangan keadaan. Ia juga merupakan sosok yang memahami perkembangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dalam berbagai macam aspek. Ulama adalah sosok yang memahami dan mengerti zaman. Ulama juga tidak ketinggalan zaman. Ia selalu mencari informasi dan perkembangan hal-hal lainnya.

Sedangkan ketiga, ulama sosok yang akhlakul karimah. Artinya, ulama memiliki integritas dan pribadi yang kuat serta menjadi panutan masyarakat. Jadi masyarakat bukan sekadar melihat pada ilmunya ulama, namun menilik pula pada opini, pendapat, akhlak, dan keseharian kehidupan ulama.

Tugas Ulama

Dari beberapa dalil yang disebutkan, bisa dipahami bahwa tugas seseorang yang faham masalah agama (ulama) adalah :
1. Ulama haruslah istiqomah diatasnya dan mendirikan segala syari’at yang ditetapkan, tidak untuk merasa tinggi diantara ummat manusia.

2. Semestinya setiap muslimin mempersiapkan segala mashlahat yang ia dapatkan untuk kebaikan seluruh ummat, dan mempersiapkan waktu untuk menebarkan kemaslahatan itu, senantiasa berusaha untuknya, dan tidak perpaling kepada hal-hal yang menjauhkannya darinya, agar semua kebaikan dapat dirasakan oleh semua ummat, dan kemaslahatan yang paling baik adalah kemashlahatan agama dan dunia mereka, sekalipun jalan yang ditempuh terdapat banyak hambatan, karena sesungguhnya kemashlahatan ini memberikan kebaikan yang begitu besar bagi ummat.

3. Menuntut ilmu dan memperdalam ilmu agama Allah adalah bagian daripada jihad; oleh karena itu Allah menyebut orang yang keluar untuk menuntut ilmu adalah satu bagian dari kelompok jihad itu, Allah berfirman : { فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ }
“mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” dan ayat ini terletak diantara ayat-ayat jihad dalam surah at-taubah, sebelumnya Allah mengatakan : { مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ } “

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang)” [QS. At-Taubah: 120], dan ayat setelahnya adalah : { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ } “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu” [QS. At-Taubah: 123].

Ulama memegang peran penting dalam kehidupan umat, mulai dari tempat bertanya tentang ajaran agama sampai kepada menyelesaikan problem masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih luas. Ulama adalah figur-figur yang diidealisasikan oleh umat. Mereka adalah patron sosial, sosok yang diidealisasikan oleh kehidupan kultural.
Proses seseorang mendapat pengakuan sebagai ulama sesungguhnya tidak mudah. Ia harus melalui jalan panjang, berdarah-darah, dengan keringat dan air mata, di mana pada hakikatnya adalah pengujian yang berat dari masyarakat. Ada semacam seleksi sosial yang menyangkut mutu keilmuan, rekam jejak, dan integritas keperibadiannya.

Ulama adalah tokoh masyarakat yang disegani. Ia menjadi tokoh utama dalam mengarahkan pendidikan baik pesantren yang diasuhnya ataupun masyarakat secara umum. Penyebutan ulama adalah gelar kehormatan. mereka mempunyai rutinitas padat. Identitas ulama pada ranah sosial universal, tidak tunggal, ulama banyak merangkap peran. Ulama dianggap mampu menangani apa pun, dari mulai urusan remeh-temeh hingga urusan yang merepotkan. Dalam sosiologi kepemimpinan tradisional seorang ulama dicitrakan sebagai orang yang mengerti segalanya sekaligus mampu menangani semua permasalahan; ibarat seorang dokter.  Sedangkan dalam kepemimpinan modern kita mengenal istilah divison of labour, pembagian kerja. Setiap orang memegang perannya masing-masing. Seperti pembantu Presiden dengan kementerian-kementeriannya, dan di perusahaan dengan pembagian tugas kerjanya, semua itu diukur atas dasar kecakapan dan spesialisasi. Di sinilah perbedaan ulama dengan menteri, ulama dituntut tahu dan mengurusi banyak hal, berbeda dengan kepemimpinan modern dalam hal ini kita bisa melihat contoh mentri, di mana satu orang hanya mengurusi satu hal. Sehingga kita bisa mengkategorikan bahwa ulama itu multitasking.

Ulama di konteks Indonesia disebut sebagai kiyai. Kiai yang disebut Geertz sebagai “makelar budaya” (cultural broker), mempunyai fungsi menyaring informasi ke masyarakat dan santri, menyeleksi mana yang baik dan tidak, yang baik ditularkan dan yang buruk dibuang. Namun, kata Geertz hal itu akan macet, ketika arus informasi masuk sangat deras, dan kiai tidak memiliki kemampuan kreatif menyikapinya. Ada kekhawatiran, pada ujungnya kiai akan ketinggalan zaman, dan umat berjalan sendiri atas perubahan sosial yang berkembang. Fenomena ini menurut Geertz—mengakibatkan kiai mengalami cultural lag (kesenjangan budaya). Berbeda pandangan dengan Geertz, Dr. Hiroko Horikoshi, melihat peran kiai sebagai sentral perubahan, bukan sosok yang terbawa arus perubahan. Kiai tidak akan mengalami kesenjangan budaya, kiai punya cara tersendiri dalam menawarkan agenda perubahan sosial. Ulama tidak saja berdiri di garis terdepan dalam mengokohkan sendi-sendi moral, etika dan spiritual kehidupan berbangsa dan bernegara.

Peran strategis ulama memang tidak boleh diabaikan. Hal ini mengingat posisi ulama sebagai pemimpin umat yang secara sinergis harus bersamaan dengan pemerintah dalam upaya menghadapi persoalan kebangsaan. Peran ulama bersama pemerintah diharapkan lebih fokus untuk mengatasi gejolak sosial dan ekonomi yang hari-hari ini belum sepenuhnya stabil.

Karena ulama adalah pewaris para nabi, maka di tangan merekalah umat Islam menggantungkan harapan. Bukankah baik tidaknya sebuah masyarakat Islam itu tergantung pada ulama? Di zaman era globalisasi dan modernisasi ini, peran ulama justru sangat penting untuk memberikan fatwa dan arahan kepada umat.

Seorang ulama sejati sudah pasti mengetahui tentang prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga ia akan senantiasa sabar, bijaksana, berpikiran terbuka, toleran, mengayomi, menyejukkan, mencerahkan, tidak merasa paling benar sendiri, menyerukan persatuan dan kesatuan umat manusia untuk tujuan kebaikan, menyerukan semangat untuk belajar ilmu pengetahuan, dan berbagai perilaku Qurani lainnya.

Tugas ulama adalah merangkul, bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati, membela bukan mencela.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *