Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Islam mengatur kehidupan manusia yang ingin memiliki keturunan. Seorang tidak mungkin memiliki keturunan biologis kecuali dengan menikah yang sah tidak dengan zina atau kumpul kebo. Tujuan pernikahan di samping ingin memperoleh ketenangan, kasih dan sayang atau yang disebut dengan sakinah mawadah warohmah juga agar memiliki keturunan. Saking pentingnya keturunan sehingga ada 2 nabi yang istrinya hamil di usia yang tidak lagi muda berkat kesungguhan doa yang dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Nabi Ibrahim dikaruniai putra dari istrinya, Siti Sarah, pada saat usianya hampir 100 tahun. Ishaq lahir ketika ayah bundanya sudah renta. Suatu hari para malaikat datang dalam bentuk manusia. Mereka bertamu ke rumah Nabi Ibrahim AS. Sang khalilullah pun segera menyiapkan hidangan untuk menghormati tamu. Dipanggangnya daging sapi yang gemuk lalu disuguhkan kepada para tamu. Nabi Ibrahim baru tersadar bahwa para tamu itu merupakan jelmaan malaikat ketika mereka tak menyentuh makanan yang dihidangkan.

 

Para malaikat pun lalu menyampaikan kabar bahagia tentang kelahiran Ishaq. Betapa bahagia dan bersyukurnya Nabi Ibrahim. Dari balik tirai, Sarah pun mendengar kabar dari para utusan. Ia sempat terheran-heran karena kondisinya yang tak muda lagi. Ia heran sekaligus bahagia yang teramat sangat.

 

قَالَتْ يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَٰذَا بَعْلِي شَيْخًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ

 

Isterinya (Siti Sarah) berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh”. (QS Hud: 72).

 

Juga Nabi Zakaria berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala untuk memberikannya seorang anak:

 

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6)

 

“Ya Tuhanku, sesungguhnya tubuhku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Sesungguhnya aku khawatir terhadap penerusku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi sebagian keluarga Yaqub, dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridai oleh-Mu.” (QS Maryam ayat 4-6).

 

Akhirnya Allah pun mengabulkan doa Nabi Zakaria. Tak lama setelah Nabi Zakaria berdoa, malaikat menghampiri Nabi Zakaria saat beribadah dan menyampaikan firman Allah subhanahu wata’ala:

 

يَٰزَكَرِيَّآ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَٰمٍ ٱسْمُهُۥ يَحْيَىٰ لَمْ نَجْعَل لَّهُۥ مِن قَبْلُ سَمِيًّا

 

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu. Engkau akan memperoleh seorang anak yang bernama Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia”. (QS. Maryam: 7).

 

Nabi Zakaria AS pun berkata,

 

قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِى غُلَٰمٌ وَكَانَتِ ٱمْرَأَتِى عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ ٱلْكِبَرِ عِتِيًّا

 

“Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mendapatkan anak padahal istriku mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua” (QS Maryam: 8). [Alhasil, tidak ada yang mustahil bagi Allah subhanahu wata’ala]

 

Dalam memilih istri pun, Rasulullah shalallahu’ alaihi wasallam menganjurkan di samping melihat agamanya juga melihat sifat penyayang dan kesuburan calon istrinya. Dari Ma’qil bin Yasaar, ia berkata, “Ada seseorang yang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Aku menyukai wanita yang terhormat dan cantik, namun sayangnya wanita itu mandul (tidak memiliki keturunan). Apakah boleh aku menikah dengannya?”

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak.”

 

Kemudian ia mendatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kedua kalinya, masih tetap dilarang.

 

Sampai ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketiga kalinya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَم

 

“Nikahilah wanita yang penyayang yang subur punya banyak keturunan karena aku bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Daud dan An Nasai)

 

Tentu dalam Islam, kita bukan hanya bangga memiliki anak tetapi juga diarahkan untuk menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Mengapa penting memiliki anak-anak yang sholih dan sholihah? Karena mereka akan menjadi investasi orang tuanya dunia-akhirat. Sesuai dengan hadits berikut:

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

 

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau doa anak yang shalih.” (HR. Muslim).

 

*Kesimpulan:*

 

*Satu,* Islam mengatur kehidupan manusia yang ingin memiliki keturunan. Seorang tidak mungkin memiliki keturunan biologis kecuali dengan menikah yang sah tidak dengan zina atau kumpul kebo.

 

*Dua,* Tujuan pernikahan di samping ingin memperoleh ketenangan, kasih dan sayang atau yang disebut dengan sakinah mawadah warohmah juga agar memiliki keturunan.

 

*Tiga,* kita tidak hanya bangga memiliki anak tetapi juga diarahkan untuk menjadi anak yang sholih dan sholihah, yang mana mereka akan menjadi investasi kita dunia-akhirat. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.

 

*(Khadim Korp Da’i An-Nashihah dan Mahasiswa S2 Zawiyah Jakarta)*

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *