Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Anak-anak tahun 80-an pasti mengenal lagu viral “Abang Tukang Bakso,” yang dinyanyikan oleh Melissa sebagai berikut:

 

“Abang tukang bakso

Mari mari sini

Aku mau beli

 

Abang tukang bakso

Cepatlah kemari

sudah tak tahan lagi

 

Satu mangkuk saja

dua ratus perak

yang banyak baksonya

 

Tidak pake saos

Tidak pake sambel

Juga tidak pake kol

 

Bakso bulat

seperti bola pingpong

kalo lewat

membikin perut kosong

 

Jadi anak

jangan kau suka bohong

Kalo bohong

digigit kambing ompong.”

 

Menjadi pedagang, tentu, pekerjaan mulia. Apalagi yang dijual bukan barang terlarang. Menekuni wirausaha berbeda dengan ASN (Aparatur Sipil Negara) yang bergantung dan digaji oleh negara. Para tukang bakso malah mereka mendatangkan devisa negara. Dalam Islam, makan dari usaha sendiri (mandiri) tanpa menggantungkan orang lain merupakan sebuah kemuliaan. Nabi Daud alaihis salaam merupakan seorang nabi juga seorang raja. Sebagai penguasa bisa saja dan sah beliau makan dari gajinya sebagai raja. Namun itu tidak beliau kehendaki. Beliau makan dari usaha kerajinannya sendiri, yakni membuat baju besi. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

 

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

 

“Seseorang tidaklah memakan sebuah makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihis salam makan dari hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari dari Miqdam radhiyallahu ‘anhu)

 

Bahkan Al-Qur’an menyebutkan yang makan dari hasil usaha sendiri bukan hanya diperbuat oleh Nabi Daud, demikian juga dengan keluarganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 

اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا ۗوَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

 

“….Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)

 

Bekerja, berusaha dan berkarya menurut ayat di atas sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mafhum mukhalafahnya orang yang menganggur atau tuna karya bisa disebut sebagai orang yang kufur nikmat, karena tidak menggunakan tenaga atau akalnya untuk bekerja atau berkarya.

 

Islam menolak mengukur kemuliaan berdasarkan sistem kasta-kasta; kasta tertinggi disebut brahmana (agamawan). Kemudian ksatria atau penyelenggara pemerintahan (raja, prajurit dan bangsawan. Untuk ukuran modern pemegang tampuk pemerintahan; eksekutif, yudikatif dan legislatif). Kemudian Kasta Waisya yang terdiri dari para pedagang, pengrajin, dan buruh kelas menengah. Kemudian Kasta Sudra yang dianggap kasta terendah dalam agama Hindu, terdiri dari para petani, pembantu, kuli, dan buruh kecil. Kemudian Kasta Paria, kasta paling rendah yang terdiri dari orang yang dianggap rendahan. Tidak cukup di situ ternyata pernyataannya ada orang-orang yang lebih rendah dari itu yaitu kaum Dalit yang tak mendapatkan hak asasi manusia sama sekali. Mereka tidak mendapatkan payung hukum dan keadilan.

 

Di dalam Islam ada keadilan dan persamaan atau egaliter. Raja, rakyat biasa, orang kaya dan orang miskin sama kedudukannya dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah mengangkat Bilal bin Rabah yang di zaman Kahiliyah hanyalah seorang hamba sahaya. Karena keimanan dan ketakwaannya, meskipun orang yang masih di bumi namun suara gesekan sendalnya sudah terdengar di surga. Berbeda dengan Firaun karena kedegilannya dan perbuatannya melawan Allah subhanahu wa ta’ala, meskipun dia seorang raja Allah subhanahu wa ta’ala menghinakannya di dunia dan akhirat. Dihinakan di dunia; mati tenggelam mengenaskan di laut merah dan dihinakan di akhirat neraka sebagai tempat tinggalnya. Sepatu emas kebanggaannya di dunia menjadi setrika yang mengupas kulitnya.

 

Seorang petinggi partai yang dalam candaan ditujukan kepada putrinya, yang dalam sambutannya, menyebutkan bahwa ia mewanti-wanti anak-anaknya saat memilih pendamping hidup. Dia menyebutkan agar anaknya tak memilih pasangan hidup kayak tukang bakso. Menanggapi candaannya; “Apakah profesi tukang bakso hina?” “Apakah tukang bakso pernah makan uang rakyat?” “Apakah tukang bakso merugikan negara?” Kalau dijawab satu-persatu dengan jawaban “tidak”, “lalu apa salahnya jadi tukang bakso?”

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *