Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Seorang muslim yang mewajibkan sesuatu pada dirinya karena ingin ketaatan kepada Allah SWT, yang mana tanpa hal itu, dia tidak melakukan hal itu, maka orang tersebut pada hakekatnya sedang bernazdar, seperti perkataannya: “Aku bernazdar i’tikaf sehari, berpuasa dalam sehari, atau shalat dua rakaat.” atau, “Demi Allah, wajib bagiku i’tikaf sehari, berpuasa dalam sehari, atau shalat dua rakaat.”

 

Orang yang bernazdar wajib menepati nazarnya, jika ia berupa ketaatan kepada Allah SWT. Firman-Nya;

 

وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ

 

“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)

 

Allah SWT juga berfirman;

 

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

 

“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan: 7)

 

Berkaitan dengan nadzar, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda;

 

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

 

“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari)

 

Berkenaan dengan itu, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah ijma atas sah (disyariatkannya) nadzar.” (Syarah Shahih Muslim [11/96])

 

Nadzar Sebagai Sesuatu Yang Terpuji

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa nadzar adalah perkara yang baik. Karena Nadzar itu wasilah yang mengatarkan kepada bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, puasa, haji dan amalan lainnya. Sedangkan hukum washilah (perantara) itu seperti halnya kedudukan tujuan. Jika tujuan sesuatu yang baik, tentu washilahnya juga baik. Diantara dalil yang digunakan oleh kelompok pendapat yang menayatakan bernadzar adalah perbuatan baik adalah firman Allah SWT,

 

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ

 

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 270)

 

Ayat tersebut diperkuat oleh sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam;

 

من نذر أن يطيع الله فليطعه. ومن نذر أن يعص الله فلا يعصه

 

“Barangsiapa bernadzar untuk menaatiAllah maka hen-daklah ia menaatiNya, dan barangsiapa bernadzar untuk mendurhakai-Nya maka janganlah ia mendurhakai-Nya.” (HR. Bukhari-Muslim)

 

Nadzar Sebagai Sesuatu Yang Dibenci

 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa asal hukum bernadzar adalah makruh. Sebuah amalan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang muslim. Kalangan ini mendasarkan pendapat mereka kepada hadits-hadits yang berisi celaan kepada orang yang bernadzar sebagai pelit dan perbuatan yang tidak merubah takdir. Diantaranya:

 

نهي النبي عَنِ النَّذْرِ قَالَ إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

 

“Nabi melarang untuk bernadzar, beliau bersabda: ‘Nadzar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit).” (HR. Bukhari-Muslim)

 

Kalangan ini juga menyatakan, “Seandainya bernadzar itu baik tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan mengerjakan dan melazimi bernadzar, demikian juga para shahabatnya. Tidak adanya perbuatan mereka dalam melazimi nadzar menunjukkan bahwa ia perbuatan yang dibenci.”[Al-Mughni (1/9)]

 

Rukun Nadzar

 

Menurut jumhur ulama, rukun nadzar itu ada tiga yaitu :

 

1. Orang yang bernadzar (nadzir) yang memenuhi kriteria berikut ini: beragama islam, atas kehendak sendiri (bukan terpaksa) , orang yang sah tasharrufnya (baligh dan berakal ), memungkinkan untuk melaksanakan nadzarnya.

 

2. Pelafadzan yang bermakna nadzar (shighat). Lafadz nadzar ada 2 jenis, yaitu:

 

a. Lafadz Muthlaq. Lafadz mutlak itu lafadz nadzar yang disebutkan secara mutlak tanpa ada keterang dan ikatan lainnya, seperti: “saya bernadzar saya akan sholat”, atau “demi Allah, Saya akan Puasa”. Mutlak tanpa ada embel-embel.

 

b. Lafadz Muqoyyad (mengikat), seperti, “Demi Allah, jika ayah saya pulang ke tanah air, nadzar saya ialah saya akan puasa selama 2 hari!” Nah ketika ikatannya itu terpenuhi yaitu “ayahnya pulang ke tanah air”, maka wajib baginya untuk berpuasa 2 hari sesuai yang telah dinadzarkan.

 

3. Ketaatan yang dinadzarkan (mandzur). Syarat-syarat mandzur ialah :

 

a. Bukanlah suatu maksiat. Ini merupakan Ijma’ seluruh Ulama bahwa nadzar tidak sah jika itu suatu kemaksiatan. [Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/329] Berdasarkan hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam,

 

لا نذر في معصية الله

 

“Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah.” (HR. Muslim)

 

b. Bukanlah suatu yang wajib. Tidak dibenarkan seseorang bernadzar dengan mengatakan, “saya bernadzar akan berpuasa ramadhan penuh tahun ini”. Nadzar atau tidak, berpuasa ramadhan sebulan penuh ialah suatu kewajiban buat setiap orang muslim yang mukallaf.

 

Kafarat Nadzar Yang Tidak Mampu Ditunaikan

 

Jika nadzar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernadzar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu.

 

Orang yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nadzar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafarah sebagaimana kafarah sumpah. Yaitu :

 

1. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau

 

2. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

 

3. Memerdekakan satu orang budak.

 

4. Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Firman Allah Ta’ala :

 

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 

“Maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan pertengahan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukannya, maka hendaknya dia berpuasa selama tiga hari. Itulah kaffarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayatNya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)

 

Faedah:

 

Satu, seorang muslim yang mewajibkan sesuatu pada dirinya karena ingin ketaatan kepada Allah SWT, yang mana tanpa hal itu, dia tidak melakukan hal itu, maka orang tersebut pada hakekatnya sedang bernazdar.

 

Dua, nadzar yang berisi mentaati Allah SWT, hendaknya ditunaikan. Sedangkan nadzar yang berisi pelanggaran agama, tidak boleh ditunaikan.

 

Tiga, rukun nadzar; orang yang bernadzar (nadzir), lafadz nadzar (sighat) dan yang dinadzarkan (mandzur).

 

Empat, syarat-syarat yang dinadzarkan (mandzur) ialah; bukanlah suatu maksiat dan bukanlah suatu yang wajib.

 

Lima, kafarat nadzar yang tidak mampu ditunaikan; memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *