Oleh: Hayat Abdul Latief

Allah SWT berfirman,

وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ ٱللَّهِ ۚ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِى كَثِيرٍ مِّنَ ٱلْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ ٱلْإِيمَٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِى قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ ٱلْكُفْرَ وَٱلْفُسُوقَ وَٱلْعِصْيَانَ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّٰشِدُونَ

“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujurat: 7)

……

Kedudukan Rasulullah SAW atas umatnya seperti orang tua kepada anaknya. Orang tua yang bijaksana tentu mengetahui apa yang baik dan buruk untuk anaknya. Apabila orang tua memenuhi seluruh permintaan anaknya tanpa memperhatikan akibat buruk, pada hakekatnya bukan orang tua yang bijaksana.

Demikian juga Rasulullah SAW berkewajiban melaksanakan kemauan Allah SWT dan menjelaskan apa yang baik dan apa yang buruk menurut-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya. Yang dicintai Allah SWT pada ayat di atas adalah iman sedangkan yang dibenci olehnya adalah kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Berkaitan dengan iman, Ibnu Mas’ud RA berkata,

إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ ، وَلاَ يُعْطِي الإيْمَانَ إِلاَّ مَنْ يُحِبُّ

“Sesungguhnya Allah memberi dunia pada orang yang Allah cinta maupun tidak. Sedangkan iman hanya diberikan kepada orang yang Allah cinta.” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Dengan iman diharapkan seorang mu’min menjadi pribadi yang taat beragama, menjauhi kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Bukan menjadi mu’min yang melanggar aturan agama.

Berkaitan dengan yang dicintai dan yang dibenci oleh Allah SWT, Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai kalian untuk menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim)

……

Cinta dan ridha Allah terhadap sesuatu merupakan ungkapan kiasan yang berarti Allah menyuruhnya. Demikian juga dengan benci dan murka Allah terhadap sesuatu merupakan ungkapan kiasan yang berarti Allah melarangnya.

Yang diridhai Allah bagi hamba-hamba- Nya dalam hadis di atas, Satu, menyembah-Nya dan mengesakan dalam ibadah kepada-Nya disertai ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.

Dua, tidak mensekutukan-Nya – baik syirik akbar ataupun syirik asghar. Karena menyekutukan Allah SWT dalam ibadah sama saja tidak beribadah kepada-Nya.

Tiga, berpegang teguh kepada tali Allah SWT, yakni berpegang teguh kepada Al-Qur’an, berpegang teguh kepada batasan-batasan-Nya dengan tidak melanggarnya, dan berperilaku baik terhadap-Nya. Allah juga ridha bagi hamba-hambanya untuk mengikuti Rasulullah SAW dan tidak menentangnya. Larangan untuk bercerai berai maknanya adalah umat Islam bersatu untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah – baik dalam hal aqidah maupun dalam hal amalan – agar mereka satu suara untuk kemaslahatan dunia dan agama, serta selamat dari perpecahan yang menghilangkan wibawa mereka di hadapan umat yang lain dan menghilangkan keberkahan Allah kepada mereka.

Sedangkan yang dibenci Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah: Satu, menyebarkan isu yang tidak jelas kebenarannya. قِيلَ وقالَ adalah perkataan yang berlebihan yang menjadi faktor kebohongan, fitnah dan kerasnya hati serta menyibukkan diri dari hal yang kontraproduktif.

Dua, banyak bertanya. Lafadz كَثْرَةَ السُّؤالِ sendiri memiliki dua makna. Makna pertama, banyak meminta harta kepada orang. Makna kedua, banyak menanyakan ilmu tentang dunia dan akhirat dengan pertanyaan yang menyulitkan penanya itu sendiri.

Tiga, menghambur hamburkan harta pada hal yang tidak bermanfaat. Lafadz إضاعةَ المالِ maksudnya adalah membelanjakan harta untuk sesuatu yang haram, berlebih-lebihan dalam membelanjakannya dan menggunakannya bukan pada hal-hal yang disyariatkan.

……

Apabila seorang mu’min mencintai apa yang dicintai oleh Allah SWT lalu mengerjakannya dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya lalu meninggalkannya, maka dia termasuk orang-orang yang mengikuti jalan lurus. Wallahu a’lam.

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *