Produk Skincare dengan Bahan Plasenta: Perspektif Hukum Islam

Perkembangan industri kecantikan saat ini melahirkan berbagai inovasi, termasuk penggunaan bahan-bahan biologis seperti plasenta dalam produk skincare. Plasenta yang dimaksud bisa berasal dari manusia atau hewan (seperti domba), dan diyakini memiliki manfaat regeneratif bagi kulit. Namun, muncul pertanyaan penting dari perspektif Islam: apakah penggunaan bahan ini halal dan dibenarkan secara syar’i?

Isu ini menuntut kajian mendalam yang tidak hanya mengandalkan sains, tetapi juga merujuk kepada dalil-dalil syar’i, kaidah fikih, serta maqashid syariah (tujuan-tujuan utama syariat Islam).

Dalil-dalil Syar’i

  1. Al-Qur’an
    Allah SWT berfirman:
    “Dan Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157)
  2. Hadis Nabi SAW
    “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
  3. Ijma’ Ulama
    Mayoritas ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang berasal dari manusia (seperti rambut, darah, dan organ) tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan darurat.
  4. Qiyas
    Plasenta bisa dianalogikan dengan penggunaan bagian tubuh manusia lain seperti transplantasi organ. Namun, penggunaannya untuk keperluan non-darurat tidak bisa disamakan.
  5. Qawa’id Fiqhiyah
    – “Al-yaqīn lā yazūlu bi al-shakk” (Keyakinan tidak dapat dihapuskan oleh keraguan).
    – “Al-dharar yuzāl” (Bahaya harus dihilangkan).
    – “Al-‘ādah muhakkamah” (Adat kebiasaan bisa menjadi pertimbangan hukum).

Maqashid Syariah

Penggunaan plasenta dalam skincare harus dievaluasi berdasarkan lima tujuan syariat:
1. Hifzh al-Din (Menjaga agama)
2. Hifzh al-Nafs (Menjaga jiwa)
3. Hifzh al-‘Aql (Menjaga akal)
4. Hifzh al-Nasl (Menjaga keturunan)
5. Hifzh al-Mal (Menjaga harta)

Pendapat Ulama Mazhab

– Mazhab Hanafi dan Maliki: melarang penggunaan bagian tubuh manusia karena prinsip kehormatan jasad.
– Mazhab Syafi’i dan Hanbali: membolehkan jika sudah mengalami istihalah.

Kisah Ulama Salaf

Imam Malik sangat hati-hati dalam menentukan kehalalan suatu barang. Ia pernah menolak menjawab sebuah pertanyaan fiqih karena khawatir berdampak salah bagi umat. Ulama salaf seperti Imam Abu Hanifah juga sangat menjaga kehati-hatian dalam perkara halal dan haram.

Fenomena Kontemporer

Banyak produk kosmetik menggunakan plasenta, namun seringkali tidak jelas asalnya. Jika dari manusia, maka dapat melanggar etika dan hak asasi. Dari sisi kesehatan, ada risiko infeksi jika tidak diproses dengan benar.

Kesimpulan

– Jika dari plasenta manusia: Haram.
– Jika dari hewan halal dan telah mengalami istihalah: Boleh.
– Jika tidak jelas asal atau prosesnya: Makruh tahrimi atau haram.

Lebih utama bagi Muslim untuk memilih produk yang jelas kehalalannya sebagai bentuk taqwa dan menjaga kebersihan lahir dan batin.

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *