Gunung Qaf: Antara Kosmologi Mitos, Jejak Tasawuf, dan Bacaan Sains Kontemporer

“Gunung Qaf (Jabal Qaf)” kerap tampil dalam literatur klasik Islam sebagai lingkar gunung yang “mengitari bumi”. Tidak ada dalil qath‘i yang menegaskan eksistensi fisiknya, namun motifnya kuat sebagai simbol batas kosmos dan ambang spiritual. Artikel ini menelaah Gunung Qaf melalui: (1) sumber-sumber tafsir dan kisah klasik; (2) analisis linguistik–sejarah yang mengaitkan “Qaf/Kaf” dengan kawasan pegunungan tertentu; (3) pembacaan sains (geologi, geodesi, atmosfer, dan ruang angkasa) untuk menilai klaim fisik; (4) kerangka antropologi mitos (axis mundi) dan psikologi religius (liminalitas); serta (5) hermeneutika tasawuf yang memaknai Qaf sebagai batas diri–hakikat. Hasilnya: Gunung Qaf paling produktif dibaca sebagai metafora kosmologis–spiritual yang menuntun ke kerendahan hati epistemik, sembari membuka dialog kreatif antara nalar ilmiah dan kedalaman makna sufistik.

1) Sumber Klasik dan Latar Hermeneutik

Rujukan tafsir dan kisah: Beberapa karya seperti Tafsir al-Tha‘labī, Qishash al-Anbiyā’, dan petikan sufi menyebut Qaf sebagai gunung berwarna hijau zamrud yang melingkari bumi, tempat langit “ditopang”, atau batas jagat kasat dan ghaib. Namun riwayat-riwayatnya tidak bersandar pada hadis sahih yang tegas mengenai bentuk–lokasi.

Huruf muqaththa‘ah “Qāf”: Pembuka QS. Qāf (ق) oleh sebagian mufassir klasik pernah dihubungkan dengan Qaf, namun arus utama tafsir modern memandangnya sebagai sirr Ilāhī (rahasia huruf) tanpa kesimpulan geografis.

Metode baca: Di sini, kita bersandar pada hermeneutika tingkat—membedakan “makna literal” (deskriptif) versus “makna simbolik” (eksistensial–spiritual). Tradisi sufi sering memusatkan pada lapis kedua.

2) Jejak Linguistik–Sejarah: Dari “Qaf/Kaf” ke Pegunungan Nyata?

Beberapa peneliti bahasa mengusulkan bahwa “Qaf/Kaf” bisa terkait secara longgar dengan:

Kaukasus (al-Qafqāz): Dalam tradisi Arab, bunyi “Qaf/Kaf” muncul pada penamaan pegunungan besar di utara Jazirah.

Alburz/Hara Berezaiti (Iranik): Dalam kosmologi Zoroastrian, ada “gunung dunia” yang menopang langit—motif yang mirip secara struktural (axis mundi).

Penting: keterkaitan ini bersifat indikatif, bukan bukti kuat. Ia menunjukkan bagaimana imajinasi kosmologis pra-modern sering menautkan “gunung besar” di pinggiran “dunia berpenghuni” dengan gagasan batas kosmos.

3) Pemeriksaan Saintifik: Apa Kata Geologi, Geodesi, dan Ilmu Angkasa?

3.1 Geodesi & Bentuk Bumi

Pengukuran modern (satelit, GPS, misi geodesi) memetakan bumi sebagai oblate spheroid (sedikit pepat di kutub). Tidak ada struktur “gunung cincin” kontinu yang mengelilingi benua-benua di permukaan.

3.2 Geologi Litosfer

Punggungan samudra (Mid-Ocean Ridge): Memang ada sistem punggungan vulkanik sepanjang ±65.000 km yang “melingkari” samudra. Namun ini berada di dasar laut, tersegmentasi, dan merupakan zona pemekaran lempeng, bukan “dinding zamrud” yang menopang langit.

Sabuk orogenik: Pegunungan besar (Himalaya, Alpen, Kaukasus, dsb.) terbentuk dari tumbukan lempeng, distribusinya terputus-putus, tidak membentuk lingkar seragam.

3.3 Atmosfer & Optik Langit

Mengapa “hijau–biru” di cakrawala? Dominasi hamburan Rayleigh membuat langit tampak biru. Pada sudut pandang jauh, pegunungan terlihat kebiruan–kehijauan karena kolom udara menebal, kelembapan, dan vegetasi. Imaji “gunung hijau” di ujung dunia bisa lahir dari pengalaman visual cakrawala yang tampak sebagai batas keras—padahal ia semu (optical horizon).

3.4 Geofisika Ruang Angkasa

Sabuk Van Allen & magnetosfer: Bumi “dilingkari” perisai radiasi akibat medan magnet, yang benar-benar melindungi dari angin matahari—sebuah “batas” kosmos dalam pengertian fisika, bukan geologi.

Ionosfer & aurora: Lapisan bermuatan (ionosfer) dan aurora di lintang tinggi memberi gambaran “tirai langit”—batas cahaya–gelap yang bisa menginspirasi mitos kosmis.

Kesimpulan saintifik: Tidak ada bukti geologi tentang gunung fisik yang mengitari bumi. Namun ilmu modern memang mengenali “batas-batas” yang melingkupi bumi—bukan berupa batu zamrud, melainkan lapisan-lapisan medan dan atmosfer yang esensial bagi kehidupan. Di sinilah jembatan makna bisa dibangun.

4) Antropologi Mitos: “Axis Mundi” dan Batas Kosmos

Banyak tradisi memuat motif “poros dunia/benteng kosmos”:

Meru (India), Sumeru (Buddha), Alborz/Hara Berezaiti (Iranik), Olympus (Yunani), hingga puncak-puncak sakral di berbagai budaya.

Fungsinya: menandai pusat, menghubungkan tiga ranah (bawah–tengah–atas), serta meng-elips-kan cakrawala menjadi “batas suci” yang menjaga tatanan dari kekacauan.

Dalam kacamata antropologi, Gunung Qaf menempati peran simbolik serupa: ia bukan “peta” geografis, melainkan gramatika imajinasi kosmologis yang membantu manusia mendefinisikan posisi diri dalam jagat.

5) Psikologi Liminalitas: Dari Ambang Cakrawala ke Ambang Jiwa

Victor Turner menyebut liminalitas sebagai fase “ambang” dalam ritus peralihan—status lama dibubarkan, status baru belum dikukuhkan. Gunung Qaf sebagai batas dunia adalah arsip simbolik liminalitas:

Ia menandai ujung keterjangkauan indera, mengajak subjek meninggalkan kepastian lama.

Ia mengundang “perjalanan” dari pengetahuan konseptual ke penyingkapan (kasyf) batin.

Secara psikologis, mitos batas kosmos memperagakan pemetaan batin: ketika kita memandang jauh ke cakrawala, kita juga menatap batas-diri—tempat krisis, transformasi, dan kelahiran ulang makna.

6) Hermeneutika Tasawuf: Qaf sebagai Peta Jalan Ruhani

Dalam tradisi sufi, pembacaan alegoris–eksistensial lebih utama:

Qaf sebagai lingkar muhāsabah: batas antara nafs yang ingin menguasai dan qalb yang hendak tunduk. Menembus Qaf berarti menembus ilusi keakuan.

Qaf sebagai khalwah ontologis: ruang sunyi, “gunung” tempat Nabi–nabi beruzlah: “Tur Sina” (kontemplasi & tajallī), “Hira” (awal wahyu). Nama boleh berbeda, peran arketipal sama: ambang pelenyapan tabir.

Qaf & lathā’if: Dalam peta lathā’if (qalb, rūh, sirr, khafī, akhfā’), Qaf dapat dibaca sebagai batas gerbang sirr—tempat isyārat melampaui literal, di mana dzikr menghadirkan kontinuitas antara jagat kecil (insān) dan jagat besar (kosmos).

> “Qāf. Wal-Qur’ānil Majīd.” (Qāf: 1)
Huruf tunggal di ambang kalam—sebuah ketukan pintu ke misteri. Sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja; ayat–ayat membuka mengapa hati mesti tunduk.

7) Sintesiskan Sains & Tasawuf: Model “Batas Berlapis”

Kita dapat memetakan “Qaf” ke dalam model batas berlapis:

1. Batas optik: Cakrawala—memberi kesan “dinding dunia”.

2. Batas geofisik: Litosfer–samudra—punggungan samudra yang “melingkari” tetapi tidak kontinu di permukaan.

3. Batas atmosferik: Tropopause–stratopause–mesopause—ambang termal yang menyarankan “tingkatan langit”.

4. Batas magnetik–radiasi: Magnetosfer & sabuk Van Allen—perisai yang memeluk bumi.

5. Batas eksistensial: Ego–qalb—ambang tempat ilmu berubah menjadi ‘ilm al-ḥāl (pengetahuan yang dialami).

Dengan kerangka ini, Gunung Qaf tidak perlu diturunkan menjadi batu, juga tidak perlu ditolak sebagai khurafat; ia di-rujukan ulang sebagai peta makna untuk mengintegrasikan pengetahuan saintifik dan perjalanan ruhani.

8) Dampak Epistemologis: Kerendahan Hati & Etika Pencarian

Kerendahan hati ilmiah: Sains mengoreksi klaim fisik yang tidak berdasar, tetapi sekaligus membuka keajaiban nyata—perisai magnetik, keteraturan atmosfer, dan hukum alam—yang semuanya ayat kauniyah.

Kerendahan hati ruhani: Tasawuf mengingatkan bahwa pengetahuan tak menyelamatkan tanpa tazkiyah—Qaf adalah ajakan membiarkan ilmu menundukkan ego.

9) Implikasi Praktis untuk Dakwah & Pendidikan

1. Kurikulum integratif: Ajarkan mitos kosmologis (Qaf, Meru, dlsb.) bersama geosains, untuk melatih literasi sains dan literasi simbolik.

2. Metode tadabbur–tafakkur: Ajak pelajar mengamati cakrawala, peta bumi, citra satelit, lalu membaca QS. Al-Mulk 3–4:

> الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِن تَفَاوُتٍ…
Menyulam rasa takjub ilmiah dengan ketundukan spiritual.

3. Etika ekologis: Jika Qaf adalah “batas rumah bersama”, maka merawat bumi menjadi tugas adab kosmik—“benteng” kita bukan tembok batu, tetapi sistem rapuh (atmosfer–magnetosfer) yang harus dijaga dari polusi dan kerakusan.

10) Penutup

Gunung Qaf berdiri di ruang antara puisi kosmos dan fisika langit. Ia tidak terkonfirmasi sebagai gunung geologi yang mengelilingi bumi—tetapi, sebagai metafora batas yang menyatukan cakrawala inderawi, lapisan pelindung bumi, dan ambang batin manusia, Qaf memiliki daya heuristik yang besar: mengajarkan kita menghormati ilmu, menghidupkan dzikir, dan menjaga rumah semesta.

> Jika engkau mencari Qaf sebagai batu, kau mungkin kecewa.
Jika engkau mencari Qaf sebagai batas dirimu, kau akan menemukan jalan pulang.

Lampiran: Rekomendasi Bacaan & Praktik Reflektif

Bacaan:

Pengantar geologi umum & peta sistem punggungan samudra.

Penjelasan populer magnetosfer & sabuk Van Allen.

Kajian axis mundi dalam antropologi agama.

Tafsir QS. Qāf dan kajian huruf muqaththa‘ah (dengan kehati-hatian metodologis).

Latihan kontemplatif (10–15 menit):

1. Duduk menghadap cakrawala (atau langit malam).

2. Tarik napas perlahan, baca “Qāf” dalam hati tiga kali sebagai isyarat ambang, lanjutkan dzikir Lā ilāha illā Allāh.

3. Tadabburi “batas” yang kau lihat: tanya dirimu—batas ilmu, batas sabar, batas syukur—lalu niatkan melampauinya dengan adab dan ilmu.

Dengan demikian, Gunung Qaf tidak kita tanggalkan; kita menyelamatkan maknanya—menempatkannya sebagai jembatan antara akal yang jernih dan hati yang terang.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *