Badal secara bahasa berarti pengganti atau wakil. Jadi badal haji sama juga dengan mewakili seseorang berhaji dengan ketentuan orang yang mewakili harus sudah lebih dulu melaksanakan ibadah haji secara sempurna. Ibadah haji sendiri hukumnya fardhu dalam Islam.

Badal haji memang kerap menjadi perbincangan di kalangan pakar fikih. Ada yang pro sementara lainnya kontra. Bagi yang berpendapat bahwa badal haji tidak sah, berpegang kepada beberapa ayat Alquran. Di antaranya surah al-Baqarah ayat 286….Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang di kerjakannya …

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, (Yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya. (QS an-Najm [53]: 38- 39).

Sementara bagi yang membolehkan mengambil dalil dari beberapa hadis sahih soal badal haji. Di antaranya, dari Ibnu Abbas RA bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata, Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya? Rasulullah SAW menjawab, Ya pergi hajilah untuknya. Tidak kah kamu tahu bila ibumu punya utang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah utang kepada Allah karena utang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan. (HR Bukhari).

Dalam hadis lain, seorang wanita dari Khas’am berkata kepada Rasulullah SAW, Ya Rasulullah se sungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung unta. Lalu Nabi SAW bersabda, Hajikanlah dia. (HR Muslim).

Membadalkan orang yang meninggal dan masih memikul kewajiban haji atau belum menunaikan haji yang telah diikrarkannya. Menghajikan orang lain dan hukumnya boleh dengan ketentuan bahwa orang yang menjadi wakil harus sudah melakukan haji wajib bagi dirinya dan yang diwakili (dihajikan itu) telah mampu untuk pergi haji tetapi dia tidak dapat melaksanakan sendiri karena sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya. (Udzur Syar’i) yang menghilangkan istitha’ahnya (kemampuannya) atau karena meninggal dunia setelah dia berniat haji.

Jika seorang muslim meninggal dunia dan belum menunaikan kewajiban haji, sedangkan dia telah memiliki semua syarat wajib haji. Maka dia harus dihajikan dari harta yang ditinggalkannya. Baik dia berwasiat akan hal itu atau tidak.

~~Untuk orang sudah meninggal dan belum berhaji memiliki dua kondisi:~~

1. Mampu secara ekonomi dan fisik
Apabila orang yang telah meninggal tersebut saat hidupnya mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta orang yang telah meninggal tersebut. Kewajiban ini berlaku walaupun tidak ada wasiat dari orang yang meninggal tadi untuk menghajikannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Ali Imran ayat 97:

و لله على الناس حج البيت
“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]”

2. Tidak mampu secara ekonomi dan fisik
Apabila orang yang sudah meninggal ketika hidupnya miskin dan tidak mampu berhaji, atau dalam keadaan tua renta sehingga semasa hidup tidak sempat berhaji, maka keluarganya boleh menghajikan orang tuanya tersebut. Dalilnya selain dari yang telah disebutkan sebelumnya juga termaktub dalam hadits berikut:

“Bila ketika hidupnya miskin dan tidak mampu berhaji, maka keluarganya boleh menghajikan orang tuanya tersebut.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku -atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud)

Tata Cara Badal Haji

1. Para ulama menjelaskan, ada tiga syarat seseorang boleh membadalkan haji, yaitu:

●Orang yang membadalkan adalah orang yang sudah berhaji sebelumnya.

●Orang yang dibadalkan telah meninggal atau masih hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit parah yang tidak ada harapan untuk sembuh atau lanjut usia dan lemah.

●Orang yang dibadalkan hajinya adalah orang yang mati dalam keadaan Islam. Hal ini berarti bahwa selama hidupnya orang yang meninggal tersebut menunaikan salat.

2. Beberapa hal yang harus diperhatikan saat membadalkan haji orang lain:

●Tidak boleh banyak orang sekaligus yang dibadalkan hajinya. Yang boleh dilakukan adalah badal haji yang dilakukan setiap tahunnya hanya untuk satu orang yang dibadalkan.

●Dilarang membadalkan haji orang lain dengan mengharap upah, kecuali jika yang menghajikan tidak memiliki harta sendiri sehingga butuh biaya untuk membadalkan haji.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang haji untuk dapat mengambil upah, maka di akhirat dia tidak mendapatkan bagian. Akan tetapi kalau dia mengahajikan dengan tujuan agama seperti agar dapat memmberi manfaat kepada saudaranya agar dapat melaksanakan haji atau dengan maksud (dapat) menambah ketaatan, doa dan zikir di tempat utam, maka hal ini tidak mengapa. Ini adalah niat yang benar.

Bagi mereka yang hendak melaksanakan haji untuk orang lain, hendaknya mengikhlaskan niatnya karena Allah Ta’ala. Niatnya adalah ingin beribadah di Baitullah, berzikir dan berdoa di sana sekaligus menunaikan kebutuhan saudaranya dengan menghajikannya. Hendaknya mereka menjauhi niat yang rendah dengan maksud mengais harta. Kalau dalam dirinya tidak ada kecuali mengais harta, maka ketika itu tidak dihalalkan baginya menghajikan orang lain. Jika dia menghajikan orang lain dengan niat yang benar, maka semua dana yang diambil boleh untuknya, kecuali kalau dia menetapkan syarat akan mengembalikan sisanya.

●Haji badal (hanya) untuk orang sakit yang tidak ada harapan sembuh atau yang lemah fisiknya atau untuk orang yang meninggal dunia. Bukan untuk orang fakir dan lemah karena kondisi politik atau keamanan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Mayoritas (ulama) mengatakan bahwa mengghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.

(Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Orang yang membolehkan menghajikan orang lain bersepakat, tidak diterima haji wajib kecuali untuk orang meninggal dunia atau lumpuh. Maka orang sakit tidak termasuk yang dibolehkan, karena ada harapan sembuh. Tidak juga orang gila, karena ada harapan normal. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir karena ungkin dia menjadi kaya.” ~~Fathul Bari, 4/70)

●Seorang wanita boleh membadalkan laki-laki, begitu pula sebaliknya.

●Badal haji lebih utama dilakukan oleh ahli waris orang yang dibadalkan, jika tidak ada, menyewa orang untuk melakukannya juga diperbolehkan.

Pahala Untuk Siapa?

Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Daud berkata, ‘Aku bertanya kepada Said bin Muasyyib, ‘Wahai Abu Muhammad, pahalanya (orang yang menghajikan) untuk siapa? Apakah untuk orang yang haji atau orang yang dihajikan.’ Said menjawab, ‘Sesungguhnya Allah meluaskan untuk keduanya semua.’ Ibnu Hazm berkomentar, “Apa yang dikatakan Said rahimahullah adalah benar.”

Sementara apa yang dilakukan oleh orang yang mewakilkan, dari amalan diluar manasik. Seperti shalat di Haram, membaca AL-Qur’an dan amalan lainya, maka pahalanya baginya bukan untuk orang yang diwakilkannya.

Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, ‘Dan pahala amalan yang terkait dengan manasik, semuanya untuk orang yang diwakilkannya. Sementara pelipatan pahala shalat, towaf sunnah yang dilakukan di luar manasik dan bacaan AL-Qur’an untuk orang yang melaksanakan haji, bukan untuk orang yang diwakilkannya. ‘Ad-Diyaul Lami’ Min Khutobil Jawami’, 2/478.

Memilih Mubdil

Dalam istilah haji, orang yang menghajikan orang lain disebut mubdil. Hendaknya wali memilih mubdil yang baik, jujur, amanah dan punya ilmu tentang manasik haji untuk haji badal yang berasal dari kalangan orang beragama dan amanah. Sehingga keluarga tenang dalam menerima hasil ibadahnya.

Wallahu a’lam

Dari berbagai sumber

Badrah Uyuni

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *