Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Sebagaimana fikih ada ushulnya (Ushul Fikih), dakwah juga ada Ushulnya. Belajar fikih, tanpa mempelajari Ushul Fikih, akan melahirkan fanatisme madzhab, menyalahkan ijtihad imam mujtahid yang bukan panutannya, serampangan dalam berpendapat dan arogansi beragama. Demikian juga dakwah, apabila tidak tahu dan tidak mengikuti prinsip-prinsip pokoknya, akan tidak efektif. Perlu diketahui bahwa hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam dakwah adalah ushul dakwah itu sendiri. Kalau dakwah tidak mengikuti ushul-ushulnya, maka dakwah akan mengikuti nafsu dan mendatangkan mudharat bagi pekerja dakwah itu sendiri, bahkan bagi umat Islam pada umumnya.

 

Di antara ushul (prinsip-prinsip pokok) dakwah yaitu, 4 hal yang tidak boleh di sentuh:

1. Masalah politik praktis (dalam dan luar negeri)

2. Masalah ikhtilaf (perbedaan pendapat mahzab/’ulama)

3. Aib masyarakat

4. Sumbangan, pangkat, status, dan jabatan.

 

*Penjelasan:*

 

*Satu,* tidak menyentuh masalah politik praktis (dalam dan luar negeri). Bukan berarti kita tidak boleh bicara masalah politik, bahkan, seyogianya umat Islam harus melek politik. Di masjid boleh bahkan dianjurkan berbicara atau ada kajian prinsip-prinsip politik Islam yang bersifat umum dengan sumber utamanya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, misalnya kajian tentang kriteria pemimpin menurut Islam, pemberdayaan ekonomi umat dan mempersiapkan generasi emas. Tema-tema semacam itu bisa dikaji dan diikuti oleh seluruh umat Islam tanpa memandang partai politiknya. Namun apabila berbicara tentang sosok tertentu yang dianggap layak sebagai pemimpin, itu namanya menyentuh wilayah praktis yang mau tidak mau akan bergesekan dengan kelompok lain yang tidak setuju dengan pemimpin yang kita usung. Maka terjadilah perpecahan yang mencederai ukhuwah islamiyah dan ini sangat merugikan perkembangan Dakwah Islamiyyah. Namun apabila dibicarakan di forum tertentu, di kalangan sendiri maka itu tidak masalah. Tetapi akan jadi masalah apabila dibicarakan pada masyarakat yang heterogen yang berbeda pilihan politiknya.

 

*Dua,* tidak menyentuh masalah ikhtilaf (perbedaan pendapat mahzab/’ulama). Seorang dai yang bijaksana pasti diterima di kalangan masyarakat luas, karena wawasannya dan karena paham prinsip-prinsip pokok dakwah. Tidak pernah menyalahkan perbedaan pendapat dikalangan umat. Kalaupun membahas fiqih di masjid atau tempat umum dari sisi yang luas yaitu fiqih 4 mazhab, bukan satu mazhab fiqih lalu mengajak orang untuk fanatis terhadapnya. Kajian fiqih di kalangan sendiri atau kelompok terbatas boleh mengkaji satu mazhab tertentu, namun tidak menyalahkan mazhab yang lain. Apabila satu kelompok umat Islam menyalahkan kelompok lain, maka umat lain bersorak-sorai dan hilanglah kekuatan dan wibawa umat Islam.

 

*Tiga,* tidak menyentuh masalah aib masyarakat. Bagi seorang dai haram hukumnya menyebarkan aib masyarakat tertentu, aib yang ada pada mereka dijaga kerahasiaannya, lalu diobati. Dengan diobati penyakit masyarakat dalam hal ini kemaksiatan, secara perlahan terkikis. Namun dengan membicarakanya tanpa mengobati, mereka terus-menerus dalam keadaan maksiat dan jauh dari petunjuk Islam.

 

*Empat,* tidak menyentuh masalah sumbangan, pangkat, status, dan jabatan. Ini semua masalah sensitif. Dalam berdakwah kita tidak boleh membeda-bedakan seseorang karena pangkat, status dan jabatannya. Demikian juga, tidak boleh membeda-bedakan seseorang karena sumbangannya kepada kita. Masalah sensitif ini apabila dibicarakan maka otomatis orang-orang akan menjauh dari kita dan Dakwah Islamiyyah tidak sampai kepada mereka. Wallahu a’lam.

 

Diolah dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah!

 

*(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)*

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *