Oleh Hayat Abdul Latief

 

Menurut Al-Qur’an dan sesuai dengan fakta, manusia terlahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

 

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)

 

“Dan di antara kuasa-kuasa Allah subhanahu wa ta’ala yaitu mengeluarkan kalian dari rahim ibu-ibu kalian sebagai anak kecil yang tidak memiliki pengetahuan apapun, lalu menciptakan untuk kalian media untuk belajar dan memahami yaitu pendengaran, penglihatan dan hati, supaya kalian beriman kepada Dzat yang Maha Pencipta dengan keyakinan dan keilmuan yang semburna serta supaya kalian bersyukur atas nikmatnya dengan memfungsikan setiap anggota tubuh kalian untuk melakukan sesuatu yang baik.” Demikian komentar Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah dalam Tafsir Al-Wajiz. Menurut ayat ini siapapun orangnya; Albert Einstein, Ronaldo, Mike Tyson atau bahkan Imam An-Nawawi dan Al-Ghazali pun terlahir seperti kita tidak tahu apa-apa.

 

Manusia merupakan makhluk yang berkembang. Sifat lain dari manusia selain unik adalah rasa ingin tahu yang sangat besar. Sifat rasa ingin tahu yang sangat besar yang dimiliki manusia biasanya timbul ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah. Ketika muncul hal tersebut maka dengan akal dan pikirannya manusia mulai berfikir dan berusaha untuk mencari penyebabnya. Sejak saat itulah munculah ilmu pengetahuan. Manusia memikirkan segala sesuatu, baik yang dapat diindera maupun yang tidak dapat diindera. Segala sesuatu yang dapat diindera manusia disebut pengalaman atau experience, sedangkan segala sesuatu yang tak dapat diindera oleh manusi disebut dunia metafisika.

 

Dalam hal ini tidak ada manusia yang terlahir dalam keadaan menjadi ahli; ekonom, sosiolog, psikolog, saintis, pujangga, ahli agama atau keahlian lainya. Bisa dipastikan setiap ahli mengikuti tahapan-tahapan pendahulunya. Menjadi seorang ahli tentu pada tahap awal mengikuti alur yang ditempuh oleh para ahli berpengalaman yang mendahuluinya. Dengan bahasa lain ada tiga N; Niteni (meneliti) Niru (mencontoh) dan Nambahi (berkreasi, berinovasi dan menjadi diri sendiri)

 

Setelah menjadi ahli, ada satu hal yang tidak boleh dinafikan, yaitu semua kemudahan yang diperoleh dan dapat melalui tahapan-tahapan tersebut datangnya dari Allah subhanahu wa ta’ala, agar tidak ujub dan sombong sebagaimana yang terjadi pada Qarun. Al-Qur’an menyebutkan,

 

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِىٓ ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِۦ مِنَ ٱلْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْـَٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ ٱلْمُجْرِمُونَ

 

“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)

 

“Mereka (salah satu dari bani israil) menjawab perkataan Qarun yang congkak dan sombong dengan berkata : Sesungguhnya tidaklah engkau diberikan harta ini melainkan karena kepiawain dan keterempilan (yang aku) ajarkan dari sisi ikhtiar dan pengetahuan akan ilmu perdagangan dan keuntungan. Maka Allah membantah qarun dan salah satu dari bani israil : Apakah engkau wahai Qarun tidak mengetahui bahwasanya Allah membinasakan orang yang lebih sombong, lebih kaya hartanya darimu, dari orang-orang yang mendahuluimu, yang dzalim ? Kemudian Allah menjelaskan bahwa mereka para pendosa tidak ditanya akan dosa mereka, maksudnya adalah mereka tidak dimintai keterangan (informasi), mereka hanyalah ditanya akan pertanyaan yang membuka kedok (mempermalukan) mereka, karena bahwasanya Allah maha tahu atas hal tersebut, sebagaimana yang telah tercatat oleh malaikat (atas amalan-amalan) mereka; Dan mereka akan mendapatkan adzab dengan segera, adzab yang pedih.” Demikian komentar Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi dalam An-Nafahat Al-Makkiyah.

 

Keahlian dan kesuksesan dalam bidang apapun harus kita kembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang seratus persen sahamnya berasal dari-Nya; kecerdasan, kemudahan dan monumen yang tepat, sehingga dengan menyadari itu semua kita menjadi pribadi yang tawadhu.

 

Beberapa faedah dari tulisan ini:

 

1. Manusia terlahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa.

 

2. Manusia merupakan makhluk dinamis yang berkembang akal-pikiranya.

 

3. Seorang ahli mengikuti tahapan-tahapan para pendahulunya.

 

4. Keahlian dan kesuksesan yang kita dapatkan berkat kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga kita harus menjadi pribadi yang tawadhu. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat.

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *