Menjaga Kemurnian Syariat_Larangan Mengonsumsi Daging Babi dalam Islam
susun oleh :
Muhammad Sya’ban Fajar Muttaqien ( Mahasantri Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)
Dalam ajaran Islam, menjaga kehalalan makanan adalah bagian penting dari praktik keimanan. Makanan yang halal bukan sekadar urusan duniawi, tetapi menjadi dasar diterimanya ibadah dan keberkahan dalam hidup seorang Muslim. Salah satu larangan paling tegas dalam hal makanan adalah larangan mengonsumsi daging babi. Larangan ini tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi juga ditegaskan dalam hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ, salah satunya adalah hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu yang akan dibahas dalam artikel ini.
Rasulullah dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ـ رضى الله عنهما ـ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ، وَهُوَ بِمَكَّةَ ” إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ ”. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ. فَقَالَ ” لاَ، هُوَ حَرَامٌ ”. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ ذَلِكَ ” قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ، إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ ”. قَالَ أَبُو عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ، كَتَبَ إِلَىَّ عَطَاءٌ سَمِعْتُ جَابِرًا ـ رضى الله عنه ـ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم.
pada tahun Penaklukan Makkah, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda :
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamar (minuman keras), bangkai, babi, dan berhala.”
Lalu orang-orang bertanya:
“Wahai Rasulullah! Bagaimana dengan lemak dari bangkai? Karena itu digunakan untuk melumasi perahu, melumuri kulit (sebagai pelindung), dan orang-orang menggunakannya untuk lampu penerangan.”
Beliau menjawab:
“Tidak, itu tetap haram.”
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda lagi:
“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak (hewan) atas mereka, namun mereka mencairkannya, lalu menjualnya, dan memakan hasil penjualannya.”
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ secara eksplisit menyebutkan bahwa daging babi adalah haram untuk dikonsumsi. Keharaman ini ditegaskan dalam berbagai dalil lainnya, termasuk dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 173, Al-Ma’idah: 3, dan lainnya). Islam memandang daging babi sebagai najis dan membahayakan, baik dari sisi fisik, spiritual, maupun sosial.
Daging babi disebutkan bersama keledai jinak (yang juga dilarang saat itu karena alasan kebersihan dan kebutuhan logistik dalam perang), menandakan larangan ini bersifat serius dan mengikat seluruh umat Islam, tidak terbatas waktu maupun tempat.
Relevansi Masa Kini
Di tengah masyarakat yang majemuk, keberadaan warung atau restoran yang menjual makanan non-halal, termasuk daging babi, bukanlah hal baru. Namun, keprihatinan muncul ketika warung-warung tersebut tidak memberikan penanda yang jelas, atau bahkan berada di lingkungan mayoritas Muslim, yang menyebabkan kekhawatiran, ketidaksengajaan, hingga ketidaknyamanan bagi masyarakat.
Kesimpulan
Hadits ini memberikan landasan yang kuat bahwa daging babi adalah makanan yang diharamkan dalam Islam, tanpa pengecualian. Mengkonsumsinya bertentangan dengan syariat dan dapat mengganggu aspek keimanan serta kebersihan spiritual seorang Muslim. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk selektif dalam memilih makanan dan memastikan kehalalan konsumsi sehari-hari.
• Kurangnya pengawasan terhadap warung makan yang menjual makanan non-halal di lingkungan mayoritas Muslim.
• Minimnya kewajiban pencantuman label makanan halal/haram secara jelas bagi pelaku usaha.
• Kurangnya edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya penyediaan makanan halal sebagai bagian dari perlindungan konsumen Muslim.
• Mewajibkan pelabelan yang jelas dan terbuka bagi tempat makan yang menjual makanan non-halal, seperti “Mengandung Daging Babi” atau “Non-Halal”.
• Membuat zona kuliner halal di wilayah-wilayah Muslim mayoritas, agar masyarakat lebih tenang dan nyaman dalam berbelanja dan makan.
• Melibatkan MUI atau LPPOM dalam pengawasan izin usaha makanan, untuk menjamin standar kehalalan bagi pelaku usaha.
Artikel ini di susun oleh :
Muhammad Sya’ban Fajar Muttaqien ( Mahasantri Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)