Ta’wîl menurut bahasa berarti kembali kepada asal. Sedangkan ta’wîl Dalam pengertiannya khusus hanya menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafaz ayat, dari yang kuat kepada arti yang kurang kuat, karena adanya alas an yang mendorongnya.

Ada dua ruang lingkup ta’wîl (majaal al-ta’wîl );

Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu’, yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wîl dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama.

Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat.

Adapun macam-macam ta’wil ada dua macam

pertama, Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.

Kedua Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan.

Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur’an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wîl, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.

*1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wîl ada dua bentuknya :*

a. Ta’wîl Maqbul (التأ ويل المقبول ) atau ta’wîl yang diterima, yaitu ta’wîl yang telah memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas.

b. Ta’wîl ghair al-Maqbul (التأ ويل غير المقبول ) atau ta’wîl yang ditolak, yaitu ta’wîl yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak memenuhi syarat yang ditentukan.

*2. Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wîl dari makna zahirnya, ta’wîl dibagi kedalam dua bentuk :*

a. Ta’wîl Qarib (التأ ويل القريب ), yaitu ta’wîl yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya. Ta’wîl ini termasuk ta’wîl yang diterima.

b. Ta’wîl Ba’id (التأ ويل البعيد ) yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang begitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.

*Ruang Lingkup Ta’wîl*

Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur’an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat.

*Ayat-ayat muhkamat* adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan *mutasyabihat* adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian ta’wîl (majaal al-ta’wîl).
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta’wîl (majaal al-ta’wîl );

Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu’, yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wîl dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama.

Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya.
Selain itu, termasuk juga huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat.

Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash dan azh-zhahir. Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna lain, sehingga menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang ada oleh seorang mujtahid dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan azh-zhahir, termasuk juga lafazh yang mujmal (global) jika belum diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang kadarnya masih mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini membuka ruang untuk ta’wil dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang huruf ba’ dalam firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ). Jika nash ayat yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan ada ta’wil di dalamnya.

Ta’wil tidak dapat dilakukan pada lafazh yang khafi karena meskipun tersembunyi tapi maknanya jelas. Begitu juga pada lafazh musytarak, meskipun memiliki banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah) di luar lafazh dan bukan mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat (rajih) kepada yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa.

Jadi, nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath’i ad-dilalah tidak bisa dita’wil karena lafazhnya jelas dan hanya memiliki satu makna, seperti nash tentang masalah ushul, perkara-perkara yang merupakan aksioma keagamaan (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah), atau lafazh yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti shalat, zakat, shiyam, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah

*Syarat-syarat Ta’wîl*

Adapun syarat-syarat ta’wîl adalah :

1. Lafaz itu dapat menerima ta’wîl seperti lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak berlaku untuk muhkam dan mufassar.

2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wîl-kan karena lafaz tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wîl. Serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut.

3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wîl seperti:

a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya: suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada kemungkinan untuk di ta’wîl kan, maka hadis itu di ta’wîl kan saja ketimbang ditolak sama sekali.

b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya. Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk nash.

c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar. Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wîl.

Macam-macam Ta’wîl Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wîl:

1. Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.
Umpamanya men-ta’wîl-kan “tantangan Allah”dengan “kekuasaan Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath (48): 60: Tangan Allah berada diatas tangan mereka. Atau mengartikan “tangan Allah” dengan “kemurahan Allah” sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah (5):64: Bahkan dua tanganya terbuka lebar, memberi menurut sesukanya. Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam lingkup “tafsir” yang dituntut dalam usaha menyuci-kan Allah dari anggapan penyamaan dengan makhluk-Nya. Bentuk seperti itu oleh ulama ini disebut “tafsir” dengan majaz masyhur”.

2. Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wîl yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang keduanya atau satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wîl kan surat al-Baqarah (2): 240, yang bertentangan dengan surat al-Baqarah (2) :234.

Dewasa ini, muncul anggapan bahwa ta’wil adalah hermeneutika Islam, seiring dengan maraknya upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode baru dalam kajian Al-Qur’an menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Terbukti dengan banyaknya para pemikir muslim kontemporer yang mengusung metode hermeneutika dalam kajian Al-Qur’an, seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Mohammed Shahrour, Hassan Hanafi, Farid Esack, dan Fazlur Rahman.

Akan tetapi ta’wil berbeda dengan hermeneutika, karena ta’wil harus berdasarkan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafazh harfiah Al-Qur’an. Perbedaan yang lain, orientasi ta’wil adalah penetapan makna, sedangkan orientasi hermeneutika adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Selain itu, dari latar belakang historisnya, metode hermeneutika lahir dari rahim tradisi Barat yang memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka.

Dari berbagai sumber

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *