Oleh: Hayat Abdul Latief
Tidaklah Allah SWT dan Rasul-Nya memuji seseorang kecuali orang tersebut memiliki kemuliaan, kedudukan dan fadhilah. Demikian juga apabila Allah dan Rasul-Nya mencela seseorang maka dapat dipastikan orang tersebut memiliki kehinaan dan keburukan yang tidak pantas ditiru oleh siapapun sesudahnya.
Dibawah ini contoh pujian Allah SWT terhadap orang-orang beriman beserta karakter-karakter mulianya:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكٰوةِ فٰعِلُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ ۙ اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعَادُوْنَ ۚ وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ ۘ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوٰرِثُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-11)
Melalui ayat-ayat di atas Allah subhanahu wa taala memuji orang-orang beriman pewaris surga Firdaus dengan enam ciri-cirinya; khusyu’ dalam shalat, berpaling dari senda-gurau yang tak berfaedah, membersihkan hartanya dengan zakat, menjaga diri dari skandal seks atau penyimpangan seksual, merawat amanat dan menjaga shalat-shalatnya.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun tidak ketinggalan dalam memuji orang beriman. Sabdanya,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar dan itu baik baginya.” (HR. Muslim, no. 5318)
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menampakkan ketakjubannya dengan cara memuji orang mu’min dan keadaannya, karena semua kondisi orang mukmin itu baik. Manusia, secara umum, ketika berhadapan dengan Qadha dan Takdir Allah berada di antara dua keadaan: Mu’min dan Kafir.
Seorang mu’min, jika mendapatka kebahagiaan berupa nikmat agama seperti ilmu, amal shaleh, dan berupa nikmat duniawi seperti kekayaan, keturunan dan keluarga, memanjatkan syukurnya kepada Allah subhanahu wa taala; mengetahui hak Allah atas nikmat itu dan apa yang telah ditetapkan baginya, maka ia melakukan ketaatan, ibadah dan taqarrub kepada Allah karena rasa syukur kepada-Nya. Demikian demikian pastinya dia akan menerima pahala di akhirat atas rasa syukur terhadap kebahagiaannya itu – tentu itu baik baginya.
Begitu pula jika seorang mukmin ditimpa kesulitan seperti kemiskinan, penyakit, musibah, atau musibah, ia bersabar dengan takdir, menunggu nushratullah, dan mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa taala serta berlindung kepada-Nya agar menyingkirkan kesulitannya. Kesabaran lebih baik baginya. Karena kesabarannya ia mendapat pahala, dan dia akan mendapatkan pahala orang sabar yang disempurnakan upahnya tanpa batas – dan itu baik baginya.
Iman pada ketetapan dan takdir Tuhan membuat orang mu’min dalam penuh keridhaan dan bersahabat dengan semua keadaannya. Berbeda dengan orang kafir yang terus-menerus marah ketika ditimpa musibah dan jika mendapatkan nikmat Allah subhanahu wa taala, dia sibuk sehingga lupa agama dan menghabiskannya dalam kemaksiatan.
Faedah:
Satu, tidaklah Allah subhanahu wa taala dan Rasul-Nya memuji seseorang kecuali orang tersebut memiliki kemuliaan, kedudukan dan fadhilah.
Dua, Allah subhanahu wa taala memuji orang-orang beriman pewaris surga Firdaus dengan enam ciri-cirinya; khusyu’ dalam shalat, berpaling dari senda-gurau yang tak berfaedah, membersihkan hartanya dengan zakat, menjaga diri dari skandal seks atau penyimpangan seksual, merawat amanat dan menjaga shalat-shalatnya.
Tiga, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menampakkan ketakjubannya dengan cara memuji orang mu’min dan keadaannya, karena semua kondisi orang mukmin itu baik; bila mendapatkan kebahagiaan bersyukur dan bila mendapatkan musibah bersabar.
Empat, bagi orang kafir, takdir Allah subhanahu wa taala disamakan dengan ‘makan buah Simalakama’; jika mendapatkan nikmat Allah subhanahu wa taala, menyibukkan diri sehingga lupa ‘daratan’ dan menghabiskannya dengan melanggar batasan, dan jika mendapatkan musibah terus-menerus marah dan tidak bersahabat dengan keadaan. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)