Oleh: Hayat Abdul Latief
Setelah Allah subhanahu wa ta’ala, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga disebut sebagai syari’ (perumus syariat berdasarkan tauqif – diterima oleh Rasulullah dari Allah langsung). Hadits ataupun Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sumber-sumber fiqih bersifat far’iyah dzanniyah (cabang-cabang yang sumbernya diambil dari ijtihad), sehingga memungkinkan dan memberikan peluang keluasan apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan para imam mujtahid.
Berkaitan dengan wudhu, Allah subhanahu wa taala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.
1. 4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran.
2. 7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.
3. 6 (enam) rukun menurut As-Syafi`iyah menambahinya dengan niat dan tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib.
4. 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu`.
Sifat Wudhu Utsman bin Affan dari Humran
وَعَنْ حُمْرَانَ; – أَنَّ عُثْمَانَ – رضي الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ, فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ مَضْمَضَ, وَاسْتَنْشَقَ, وَاسْتَنْثَرَ, ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
“Dari Humran rahimahullah, bahwa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu meminta untuk diambilkan air wudhu. Lalu beliau mencuci kedua telapak tangannya, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali, lalu membasuh wajahnya tiga kali, mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali, dan demikian juga tangan kiri, kemudian mengusap kepala, kemudian mencuci kaki kanan hingga mata kaki sebanyak tiga kali, dan demikian juga kaki kiri, lantas berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhu yang telah aku lakukan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sifat Wudhu Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ وُضُوءِ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: – وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً. – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan sekali usap.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, dengan sanad yang sahih. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling sahih dalam masalah ini). [HR. Abu Daud, no. 111; An-Nasai)
Sifat Wudhu menurut Abdullah bin Zaid
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ عَاصِمٍ – رضي الله عنه – -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ-قَالَ: – وَمَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita tentang tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari depan ke belakang lalu kembali lagi ke depan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sifat Wudhu menurut Abdullah bin ‘Amr bin Ash
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ- قَالَ: – ثُمَّ مَسَحَ – صلى الله عليه وسلم – بِرَأْسِهِ, وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ اَلسَّبَّاحَتَيْنِفِي أُذُنَيْهِ, وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ. – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita tentang tata cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian beliau mengusap kepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuk ke lubang telinga lalu mengusap bagian luar dua telinga tersebut dengan ibu jari.” (HR. Abu Daud, An-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Sifat wudhu, demikian juga sifat shalat, sifat haji dan seterusnya ada sedikit perbedaan di kalangan ulama Imam mazhab bahkan di kalangan para sahabat. Maka tidak pantas bagi seorang pelajar menisbatkan sifat wudhu, shalat dan seterusnya yang dijadikan sebagai pegangan kepada Nabi, sedangkan sifat shalat wudhu dan seterusnya pegangan ulama dan mazhab lain tidak dikatakan sifat Nabi. Apalagi di kalangan yang dianggap sebagai para ulama tidak pantas mengarang kitab atau buku kemudian menisbatkan karangannya sebagai sifat ibadah Nabi dan kitab atau karangan ulama lainnya dianggap sebagai bukan sifat ibadah Nabi – padahal sama-sama mengambil sumber dari Al-Qur’an dan hadits.
Mari kita kembali kepada kaedah mulia ini:
نتعاون فيما اتفقنا عليه، ويعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه
“Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat.”
Faedah:
Satu, sumber-sumber fiqih bersifat far’iyah dzanniyah (cabang-cabang yang sumbernya diambil dari ijtihad), sehingga memungkinkan dan memberikan peluang keluasan apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan para imam mujtahid.
Dua, QS. Al-Maidah: 6 merupakan ayat Al-Qur’an sebagai rujukan amaliyah wudhu.
Tiga, tidak pantas bagi seorang pelajar menisbatkan sifat wudhu, shalat dan seterusnya yang dijadikan sebagai pegangan kepada Nabi, sedangkan sifat shalat, wudhu dan seterusnya pegangan ulama dan mazhab lain tidak dikatakan sifat Nabi.
Empat, menyikapi perbedaan fiqih yang bersifat ijtihadi, kita kembali kepada kaedah: “Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat.” Wallahu A’lam.
Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!
(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

