Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Dalam obrolan kopi darat atau chatting di Media sosial, seseorang karena kepahitan hidup yang dialami atau kegagalan yang menghampiri, lantas untuk menguatkan diri lalu bergumam, “Kalau sudah saatnya, pasti indah pada waktunya

 

Seorang muslim sebaiknya tahu bahwa ungkapan di atas merupakan kutipan dari kitab perjanjian lama (Red: Bible terdiri dari dua bagian; perjanjian lama dan perjanjian baru). Ini kalimat lengkapnya : Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Perjanjian Lama) pasal 3 ayat 11)

 

Atau dalam versi Inggrisnya disebutkan, He hath made “everything” beautiful in its time: also he hath set eternity in their heart, yet so that man cannot find out the work that God hath done from the beginning even to the end.”

 

Pada awalnya (sepertinya) orang Kristen yang sering kali mencantumkan potongan kalimat ini pada kartu undangan menikah mereka, sehinga seringkali orang beranggapan “semua indah pada waktunya” mengarah pada kontek hubungan 2 anak manusia yang penuh lika liku dan berakhir indah di pelaminan.

 

Kata-kata yang penuh pesona tersebut ternyata merupakan salah satu kalimat yang sangat populer dalam syi’ar umat Nashrani, termasuk yang sering diucapkan di gereja-gereja dan forum-forum Kristiani, baik melalui khotbah, diskusi maupun syair-syair lagu rohani. Berikut ini salah satu bagian dari bait lagu, “Indah Pada Waktunya” yang menjadi lagu populer umat Nashrani, khususnya di Indonesia.

 

Dalam Islam ada kaidah,

العلم قبل الفول والعمل

(Sebelum berkata dan berbuat harus mengetahui ilmunya). Di sana ada larangan untuk ikut-ikutan, karena semuanya akan dimintakan pertanggungjawabanya. Firman Allah SWT,

 

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra: 36)

 

Ikut-ikutan bisa juga disebut tasyabbuh atau meniru-niru. Meniru perbuatan atau perkataan sekelompok orang yang berbeda aqidah dengan kita sejatinya dilarang. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031)

 

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Dan termasuk dalam bentuk menyerupai orang kafir adalah bercakap-cakap dengan bahasa orang-orang kafir pada kebutuhan yang tidak mendesak, serta menulis dengan bahasa mereka di tempat-tempat berjualan di negara kaum muslimin. Atau mencampur kalimat dan istilah-istilah dari bahasa mereka di dalam buku-buku Islam dan karya-karya lainnya.” [Al Khuthab, 2/168].

 

Ungkapan Pengganti Qur’ani

 

Sebagai gantinya, Al-Qur’an menyajikan kalimat yang lebih bernilai ruhaniyah tinggi yaitu:

 

وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

 

“….Dan akibat (kesudahan yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa” (QS Thaha : 132)

 

Atau Firman-Nya,

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“….Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)

 

Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat!

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *