Oleh: Hayat Abdul Latief

 

Suatu ketika, Buya Hamka ditanya seorang ibu anggota pengajian tentang dua fenomena sosial. Pertama, ada orang bergelar Pak Haji, setiap hari shalat fardhu berjamaah di masjid, tetapi dia kejam pada istri dan anak-anaknya, sering berkata kasar, bakhil, dan tidak ramah pada tetangga. Yang kedua, seorang dokter, tidak pernah shalat, apalagi ke masjid, tetapi dokter ini berkepribadian baik, keluarganya tenteram dan damai, sering membantu fakir miskin, akrab dengan tetangga, serta suka memberi bantuan. Sang ibu bertanya, apa makna QS. Al-Ankabut: 45 yang mafhumnya menyatakan, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” Bukankah si haji yang rajin shalat itu tidak memberikan efek sosial apa pun, sementara sang dokter yang tidak shalat justru mampu berperilaku sosial yang baik?

 

Secara diplomatis Buya Hamka menjawab,”Si haji akan lebih jahat andaikata tidak shalat, sementara sang dokter akan jauh lebih baik andaikata mau shalat.”

 

Mengerjakan Ibadah Yang Wajib 

 

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, berkata; Dahulu kami pernah dilarang untuk bertanya tentang apa saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh sebab itu kami merasa senang apabila ada orang Arab Badui yang cukup berakal datang kemudian bertanya kepada beliau lantas kami pun mendengarkan jawabannya.

 

Maka suatu ketika, datanglah seorang lelaki dari penduduk kampung pedalaman. Dia mengatakan, “Wahai Muhammad, telah datang kepada kami utusanmu. Dia mengatakan bahwasanya anda telah mengaku bahwa Allah telah mengutus anda?”. Maka Nabi menjawab, “Dia benar”. Lalu arab badui itu bertanya, “Lalu siapakah yang menciptakan langit?”. Beliau menjawab, “Allah”. Lalu dia bertanya, “Siapakah yang menciptakan bumi?”. Nabi menjawab, “Allah”. Dia bertanya lagi, “Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menciptakan di atasnya segala bentuk ciptaan?”. Nabi menjawab, “Allah”. Lalu arab badui itu mengatakan, “Demi Dzat yang telah menciptakan langit dan yang menciptakan bumi serta memancangkan gunung-gunung ini, benarkah Allah telah mengutusmu?”. Maka beliau menjawab, “Iya”.

 

Lalu dia kembali bertanya, “Utusanmu pun mengatakan kepada kami bahwa kami wajib untuk melakukan shalat lima waktu selama sehari semalam yang kami lalui.” Nabi mengatakan, “Dia benar”. Lalu dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah memerintahkanmu dengan perintah ini?”. Nabi menjawab, “Iya”. Lalu dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami berkewajiban untuk membayarkan zakat dari harta-harta kami?”. Nabi mengatakan, “Dia benar”. Dia berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang telah menyuruhmu untuk ini?”. Beliau menjawab, “Iya”. Dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami wajib berpuasa di bulan Ramadhan di setiap tahunnya.” Nabi mengatakan, “Dia benar” Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah menyuruhmu dengan perintah ini?”. Beliau menjawab, “Iya”. Dia mengatakan, “Utusanmu pun mengatakan bahwa kami wajib untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukaan perjalanan ke sana.” Nabi menjawab, “Dia benar”. Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang memerintahkanmu dengan ini?”. Nabi menjawab, “Iya”.

 

Anas mengatakan; Kemudian dia pun berbalik seraya mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahkan selain itu dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau dia benar-benar jujur/konsisten niscaya dia akan masuk surga”. (HR. Bukhari-Muslim)

 

Taqarrub kepada Allah SWT dengan Ibadah Wajib dan Sunnah 

 

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda;

 

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

 

“Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari)

 

Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial 

 

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.

 

Dalam sebuah hadits dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW  mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata nabi. Hadits ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

 

Fadhilah Menolong Sesama

 

Rasulullah SAW bersabda;

 

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

 

“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a).

 

Rasulullah SAW juga bersabda:

 

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعَسِّرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ الدُّنْيَا وَالآَخِرَةِ….

 

“Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kdiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat….” (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a)

 

Ibnu Abbas Membatalkan I’tikaf untuk Menolong Sesama: Meninggalkan Kesalehan Individu Beralih kepada Kesalehan Sosial

 

Suatu hari Ibnu Abbas r.a sedang itikaf di Masjid Rasulullah SAW. Kemudian masuk seorang laki-laki dan menghampirinya. Ibnu Abbas bertanya, ”Hai Fulan, aku melihat kamu murung sekali. Apa yang terjadi padamu?” Orang itu menjawab, ”Benar, wahai putra paman Rasulullah. Saya mempunyai kewajiban kepada seseorang yang harus saya penuhi (mungkin utang), tetapi demi Allah, saya belum sanggup memenuhinya.”

 

Ibnu Abbas menawarkan pertolongan, ”Bolehkah saya menemui orang yang dimaksud untuk menyelesaikan urusanmu dengannya?” Dia menjawab, ”Silakan jika Anda berkenan. Tetapi, apakah karena ingin menolong saya lantas Anda hendak meninggalkan itikaf?”

 

Ketika itu Ibnu Abbas berlinang air mata, lalu berkata, ”Masih terngiang di telingaku, penghuni kubur ini (yakni Rasulullah yang dimakamkan di sisi Masjid Nabawi) bersabda;

 

من مشى في حاجة أخيه كان خيراً له من اعتكاف عشر سنين، ومن اعتكف يوماً (أي مكث في المسجد يوماً) ابتغاء وجه الله جعل الله بينه وبين النار ثلاثة خنادق، كل خندق أبعد مما بين الخافقين

 

“Barangsiapa berjalan memenuhi keperluan saudaranya dan menyampaikan keinginannya, maka itu lebih besar (pahalanya) daripada itikaf di masjid selama 10 tahun, sedangkan orang yang itikaf satu hari untuk mencari keridhaan Allah, maka Allah akan jadikan penghalang antara ia dan neraka tiga parit yang jauhnya lebih dari dua ufuk Timur dan Barat’.” (HR Al Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a)

 

Menolong Sesama Lebih Utama daripada Haji Berkali-kali

 

Al Hasan Al Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut, “Hampirilah Tsabit Al Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia berkata, “Maaf, aku sedang i’tikaf.” Murid-muridnya lantas kembali mendatangi Al Hasan Al Bashri, lantas mereka mengabarinya. Kemudian Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai A’masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong saudaramu yang butuh pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?” Lalu mereka pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan i’tikaf dan mengikuti murid-murid Al Hasan Al Bashri untuk memberikan pertolongan pada orang lain. [Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 294]

 

Faedah:

 

Satu, kita harus menyelaraskan antara kesalehan individu dan keseharian sosial.

 

Dua, menjalankan ibadah merupakan kewajiban bagi setiap manusia.

 

Tiga, berbuat baik kepada Allah (ibadah yang bersifat individual) harus disertai dengan berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya (ibadah sosial).

 

Empat, disamping dengan ibadah wajib dan sunnah, kita juga mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ibadah sosial.

 

Lima, Allah senantiasa menolong hambanya yang gemar menolong sesama

 

Enam, Ibnu Abbas meninggalkan ibadah ritual (i’tikaf sunnah) beralih kepada ibadah sosial (menolong sesama).

 

Tujuh, menolong sesama lebih utama daripada haji sunnah. Wallahu a’lam.

 

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

 

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Pelajar Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

 

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *