Adam dan Hawa Versus “Adam dan Asep”

Oleh: Hayat Abdul Latief

Kisah Adam dan Hawa merupakan bagian integral dari narasi penciptaan dalam banyak tradisi agama, termasuk Islam, Kristen, dan Yahudi. Mereka dikenal sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan dan menjadi leluhur umat manusia. Adam dan Hawa dalam Perspektif Agama
Dalam Islam, Adam diciptakan dari tanah liat dan diberi ruh oleh Allah, sedangkan Hawa diciptakan dari dirinya sebagai pendamping. Mereka tinggal di surga hingga melanggar perintah Allah dengan memakan buah dari pohon terlarang, yang menyebabkan mereka diturunkan ke bumi. Kisah ini sarat dengan pelajaran tentang ketaatan, godaan, dan pengampunan.

Hubungan Adam dan Hawa menggambarkan peran gender tradisional di mana laki-laki dan perempuan memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat dan agama. Hawa sebagai “penolong” Adam memperkuat pandangan bahwa hubungan heteronormatif adalah dasar pembentukan keluarga dan masyarakat. Kisah Adam dan Hawa menekankan konsekuensi dari ketidaktaatan kepada Tuhan, yang berujung pada kehidupan di bumi dengan segala tantangannya.

Sementara itu, “Adam dan Asep” seringkali muncul dalam diskusi atau lelucon di media sosial atau budaya populer Indonesia sebagai simbol hubungan sesama jenis atau representasi dari perubahan norma sosial terkait identitas dan hubungan manusia. Istilah ini mencerminkan bagaimana masyarakat modern mengeksplorasi identitas di luar narasi tradisional. “Adam dan Asep” melambangkan relasi yang menantang norma tradisional tersebut. Ini membuka ruang diskusi tentang keberagaman orientasi seksual.

Dalam tradisi agama Islam khususnya, hubungan Adam dan Hawa sering dianggap sebagai desain ilahi, sedangkan hubungan seperti “Adam dan Asep” merupakan desain manusia yang menabrak norma agama dan fitrah manusia.

……

Memang benar bahwa dalam ajaran Islam, hubungan sesama jenis, atau yang dikenal sebagai LGBT, tidak diterima dan dianggap bertentangan dengan syariat. Hal ini didasarkan pada berbagai ayat dalam Al-Qur’an dan hadis yang menegaskan larangan terhadap perilaku tersebut. Salah satu kisah yang sering dijadikan rujukan adalah kisah kaum Nabi Luth, yang dihancurkan karena melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma Allah, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ ٱلْفَـٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍۢ مِّنَ ٱلْعَـٰلَمِينَ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهْوَةًۭ مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌۭ مُّسْرِفُونَ

“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita. Kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 80-81)

Dalam pandangan Islam, hubungan yang dibenarkan adalah antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan yang sah. Perbuatan homoseksual dianggap dosa besar dan pelakunya diingatkan untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.

…….

Artikel ini ditulis untuk memberikan perspektif yang jelas tentang pandangan yang ditolak oleh Islam terhadap hubungan sesama jenis, dengan membandingkannya dengan kisah Adam dan Hawa sebagai simbol hubungan heteronormatif yang diakui dalam ajaran agama Islam. Wallahu a’lam.

Diambil dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat!

(Khadim Korp Da’i An Nashihah dan Alumni Ma’had Aly Zawiyah Jakarta)

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *